Kurban Online, Sahkah?

Meskipun memudahkan dari sisi akses dan distribusi, praktik ini tidak luput dari pertanyaan penting dalam ranah fikih Islam, apakah kurban online sah menurut syariat?
Ilustrasi seorang Muslims sedang mencari platform kurban online. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Seiring perkembangan teknologi digital, umat Islam dihadapkan pada inovasi baru dalam pelaksanaan ibadah, termasuk dalam pelaksanaan kurban.

Salah satu fenomena yang semakin populer adalah “kurban online,” yakni praktik berkurban melalui penggalangan dana secara daring, yang difasilitasi oleh platform digital atau penyedia jasa kurban berbasis internet.

Meskipun memudahkan dari sisi akses dan distribusi, praktik ini tidak luput dari pertanyaan penting dalam ranah fikih Islam, apakah kurban online sah menurut syariat?

Baca: Tutorial Menyembelih Hewan Kurban sesuai Syariat Islam

Respons fikih

Dalam beberapa tahun terakhir, umat Muslim mulai terbiasa dengan berbagai metode kurban, mulai dari urunan bersama hingga arisan.

Berkat kemajuan teknologi informasi, sebagian masyarakat memilih untuk berkurban melalui platform digital, baik yang menyebutkan nominal harga hewan secara langsung maupun yang hanya membuka donasi tanpa batas minimum.

Model pertama biasanya menetapkan harga kambing per individu, sedangkan model kedua membebaskan besaran donasi dan cenderung menyerupai praktik urunan.

Namun, inovasi semacam ini membawa konsekuensi fikih yang tidak bisa diabaikan.

Yang perlu diingat, dalam fikih kurban ada istilah penting yang disebut “Takwil.Tawkil adalah akad perwakilan, ketika seseorang menunjuk pihak lain untuk mewakilinya dalam pelaksanaan penyembelihan kurban.

Dalam tradisi fikih Syafi’iyyah, sahnya ibadah kurban sangat bergantung pada kejelasan niat, peruntukan hewan, serta kesesuaian tindakan wakil dengan ketentuan yang ditetapkan oleh muwakkil (yang diwakilkan).

Seorang wakil wajib menyebutkan nama orang yang mewakilkan ketika menyembelih, sebagaimana ditegaskan dalam Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fathu al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain:

ومتى خالف شيأ مما ذكر فسد تصرفه وضمن قيمته يوم التسليم ولو مثليا

“Ketika seorang wakil bertindak kebalikan dari apa yang telah disebutkan muwakkil, maka rusaklah pemanfaatannya dan ia wajib menanggung harga barang yang diwakilinya sebagaimana hari penyerahan, meskipun dengan harga mitsil.”

Jika seorang wakil tidak menyebutkan peruntukan hewan secara spesifik, maka hewan tersebut tidak sah sebagai kurban bagi pihak yang diwakilinya.

Lebih jauh lagi, Sayyid Abdullah Al-Ba’alawy, dalam Bughyatu al-Mustarsyidin menegaskan, jika hewan yang disembelih tidak disesuaikan dengan waktu, tempat, jenis, dan kadar yang ditentukan muwakkil, maka wakil (pelaksana kurban) wajib bertindak secara hati-hati atau mengganti kerugian bila terjadi ketidaksesuaian.

ويجب على الوكيل موافقة ما عين له الموكل من زمان ومكان وجنس ثمن وقدر كالأجل والحلول وغيرها اودلت قرينة قوية من كلام الموكل اوعرف اهل ناحيته فإن لم يكن شيئ من ذلك لزمه العمل بالأحوط

“Wajib bagi wakil mengerjakan sesuatu sesuai dengan yang ditentukan padanya oleh muwakkil, baik dari sisi waktu, tempat, jenis, harga, kadar, misalnya kredit atau kontan dan lain-lain, atau setidaknya menyesuaikan terhadap petunjuk yang mendekati atas perkataannya pihak yang mewakilkan atau tradisi ahli wilayahnya muwakkil. Kecuali jika sama sekali tidak diketahui adanya qarinah atau petunjuk yang mendekati ke arah muwakkil, maka wajib bagi wakil melakukan pekerjaan yang lebih hati-hati menurut pertimbangannya.”

Baca: Ringkasan Fikih Kurban

Risiko ketidaksahan

Salah satu persoalan mendasar dalam kurban online adalah ketika donatur menyetorkan dana ke platform digital tanpa akad wakalah (pewakilan) yang jelas dan tanpa informasi spesifik tentang siapa yang menyembelih, di mana hewan disembelih, dan kepada siapa peruntukannya.

Dalam kondisi seperti ini, hukum keabsahan kurban menjadi dipertanyakan, karena melanggar prinsip ta’yin (penentuan spesifik) dalam akad tawkil.

Oleh karena itu, penyedia jasa kurban online memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan sahnya ibadah kurban yang mereka fasilitasi. Mereka wajib menyediakan formulir atau akad wakalah yang jelas dan sah secara syar’i antara donatur dan pelaksana kurban.

Dalam praktiknya, akad ini harus memuat nama muwakkil, jenis hewan, serta lokasi penyembelihan. Selanjutnya, mereka juga harus memastikan bahwa saat penyembelihan, nama orang yang berkurban disebutkan secara eksplisit.

Jika penyembelihan dilakukan oleh pihak ketiga, maka wakil pertama wajib menunjuk wakil kedua atas nama orang yang berkurban, bukan atas nama dirinya sendiri. Hal ini penting agar kurban tidak batal karena kesalahan dalam peruntukan.

Jika ketentuan ini tidak dipenuhi, maka pihak penyedia jasa berada dalam posisi wajib mengganti hewan kurban karena sembelihan tersebut tidak sah sebagai kurban atas nama muwakkil.

Persoalan lain yang sering muncul dalam kurban online adalah ketika dana yang disetor oleh peserta tidak mencukupi harga satu ekor kambing.

Dalam konteks ini, penyetor dana tidak dapat dianggap sebagai mudlahhy (orang yang berkurban), dan kontribusinya lebih tepat disebut sebagai sedekah.

Imam Nawawi dalam Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftiyin menjelaskan bahwa seekor kambing hanya bisa disembelih atas nama satu orang. Namun, jika salah seorang dari satu keluarga telah berkurban, maka telah terlaksana syiar Islam bagi seluruh keluarga.

الشاة الواحدة لا يضحى بها إلا عن واحد. لكن إذا ضحى بها واحد من أهل بيت، تأدى الشعار والسنة لجميعهم… وكما أن الفرض ينقسم إلى فرض عين وفرض كفاية. فقد ذكروا أن التضحية كذلك. وأن التضحية مسنونة لكل أهل بيت

“Seekor kambing bisa disembelih hanya untuk ibadah kurban satu orang. Kalau salah seorang dari seisi rumah telah berkurban, maka sudah nyatalah syar Islam dan sunah bagi seisi rumah itu… Sebagaimana fardu itu terbagi pada fardu ‘ain dan fardu kifayah, para ulama juga menyebut hukum sunah kurban juga demikian. Ibadah kurban disunnahkan bagi setiap rumah.”

Artinya, untuk kurban sah secara fikih, jumlah dana harus cukup untuk membeli satu kambing (untuk satu orang) atau satu sapi (untuk tujuh orang). Selain dari itu, ia hanya akan bernilai sedekah, dan bukan kurban.

Baca: Solusi Al-Qur’an agar Distribusi Daging Kurban Tepat Sasaran

Problem distribusi 

Urbanisasi telah mengubah lanskap sosial masyarakat, termasuk dalam konteks distribusi daging kurban.

Di kota besar, para mustahik bisa saja bukan pengemis atau kaum miskin ekstrem, tapi juga pekerja harian, pemulung, ojek daring, hingga mahasiswa perantauan. Dalam konteks ini, lembaga kurban harus mampu mengidentifikasi mereka secara tepat.

Pertanyaan berikutnya adalah “Bolehkah daging kurban didistribusikan ke luar kota atau daerah rawan gizi?”

Berdasarkan Fatwa MUI No. 37 Tahun 2019, pendistribusian daging kurban ke daerah lain yang lebih membutuhkan hukumnya mubah (boleh), termasuk dengan cara ala al-tarakhi (penundaan) maupun dengan diolah dan diawetkan. Pengolahan semacam ini dinilai sah selama dilakukan untuk memudahkan distribusi dan menjangkau lebih banyak penerima manfaat.

Namun, perlu dicatat bahwa prinsip utama yang ditekankan tetaplah kecepatan distribusi dan pembagian dalam bentuk daging mentah, Ketentuan ini menunjukkan fleksibilitas fikih dalam menjawab kebutuhan zaman dan realitas sosial yang kompleks.