Ikhbar.com: Grup band asal London, Coldplay telah memastikan bakal menggelar konser di Jakarta pada 15 November 2023. Pagelaran yang merupakan bagian dari rangkaian Music of the Spheres World Tour itu disambut gegap gempita para penggemar mereka di Indonesia.
Antusiasme ini diprediksi mencapai puncaknya ketika tiket mulai dijual pada 17-19 Mei mendatang. Penjualan tiket konser Coldplay di Jakarta akan dibagi dua jenis, yakni pre-sale pada 17-18 Mei serta penjualan umum pada 19 Mei 2023.
Banyaknya penggemar fanatik ini kemudian dimanfaatkan sebagian orang untuk dijadikan ladang cuan. Tidak sedikit dari mereka yang menjadi calo dan membuka jasa titip (jastip) pembelian tiket konser tersebut.
Biasanya, para calon penonton akan memesan slot kepada para penyedia jastip jauh sebelum war tiket dimulai. Layanan jastip ini sangat diminati walaupun para penggemar harus merogoh kocek lebih dalam, bahkan berujung penipuan hanya demi bisa menyaksikan penampilan sang idola.
Yang menarik, menjadi calo bukan merupakan ide bisnis yang baru. Bahkan, jasa ini sudah muncul sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Istilah calo pada saat itu disebut dengan samasirah:
عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي غَرَزَةَ قَالَ كُنَّا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُسَمَّى السَّمَاسِرَةَ فَمَرَّ بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّانَا بِاسْمٍ هُوَ أَحْسَنُ مِنْهُ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلْفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ
“Kami pada masa Rasulullah Saw dikenal (profesi) samasirah. Pada suatu ketika, Rasulullah Saw menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik dari calo, beliau bersabda, ‘Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli ini kadang diselingi dengan kata-kata yang tidak bermanfaat dan sumpah (palsu), maka perbaikilah dengan (memberikan) sedekah.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah).
Baca: Nasihat Islam di Tengah Gegap Gempita Konser Coldplay
Upah ju’alah
Orang-orang yang berprofesi sebagai samasirah itu akan mendapat upah dengan sebutan ju’alah. Secara bahasa, ju’alah berarti upah yang diberikan pada seseorang atas suatu pekerjaan.
Dalam bahasa Arab, sebutan ju’alah dapat dibaca dengan mendhammahkan huruf jim (ju’alah) atau kasrah (ji’alah).
Sedangkan secara istilah, ju’alah didefinisikan para ulama Mazhab Maliki, terutama dalam Mukhtashar al-Khalil karya Imam Khalil Bin Ishaq al-Malikiy sebagai:
أن يجعل الرجل للرجل أجرا معلوما ، ولا ينقده إياه على أن يعمل له في زمن معلوم أو مجهول، مما فيه منفعة للجاعل، على أنه إن أكمل العمل كان له الجعل، وإن لم يتمه فلا شيء له، مما لا منفعة فيه للجاعل إلا بعد تمامه
“Memberikan kepada seseorang suatu upah yang diketahui (jelas), tidak secara kontan, melainkan dengan syarat orang tersebut harus melakukan pekerjaan untuk pengupah dalam kurun waktu yang diketahui atau tidak diketahui, berupa pekerjaan yang memberi manfaat untuk pengupah dengan ketentuan upah baru diberikan setelah pekerjaan selesai. Jika tidak, maka pekerja tidak mendapat apa-apa. Pekerjaan itu berupa sesuatu yang tidak memberi manfaat bagi pengupah kecuali setelah selesainya pekerjaan tersebut.”
Sementara menurut ulama Mazhab Syafi’iyyah, ju’alah didefinisikan sebagai:
التزام عوض معلوم على عمل معيّن معلوم، أو مجهول يعسر ضبطه
“Menjanjikan imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu yang diketahui (jelas) atau tidak diketahui, yang sulit untuk menentukan batasannya.”
Menurut kalangan Hanabilah, ju’alah adalah:
تسمية مال معلوم لمن يعمل للجاعل عملا مباحا ولو كان مجهولا أو لمن يعمل له مدة ولو كانت مجهولة
“Penentuan suatu harta yang diketahui bagi orang yang melakukan pekerjaan untuk pengupah berupa pekerjaan yang mubah walaupun pekerjaan itu tidak diketahui atau bagi orang yang bekerja untuk pengupah dalam suatu kurun waktu meskipun waktu tersebut tidak diketahui.”
Hal itu, berbeda dengan pendapat dari kalangan Hanafiyah yang memandang ju’alah sebagai akad yang tidak diperkenankan secara syariat. Menurut mereka, ju’alah adalah akad yang mengandung gharar (penipuan) dan jahalah (kebodohan). Seorang pekerja tidak tahu apakah akan mendapat upah atau tidak, sebab upah digantungkan pada hasil, bukan pekerjaan.
Dari definisi-definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa akad ju’alah meliputi poin-poin:
- Akad ju’alah adalah akad ketika seorang ja’il (pengupah) meminta orang lain untuk melakukan suatu pekerjaan dengan menjanjikan sejumlah harta sebagai upahnya.
- Upah yang dijanjikan harus jelas dan diketahui jumlahnya sebelum pekerjaan dimulai
- Penyerahan upah tidak dilakukan sebelum atau saat pekerjaan dilakukan, melainkan setelah pekerjaan selesai dan membuahkan hasil yang diinginkan oleh pengupah. Orientasi akad ju’alah adalah pada hasil bukan pada pekerjaannya.
- Jika pekerjaan tidak selesai atau tidak membuahkan hasil yang diinginkan oleh pengupah, maka pekerja tidak berhak mendapatkan apa-apa meski sudah keluar tenaga untuk melakukan pekerjaan tersebut.
- Dalam akad ju’alah tidak disyaratkan adanya penentuan jenis atau batasan-batasan dalam pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja. Tidak penting bagi pengupah bagaimana cara mengerjakannya, yang penting adalah hasil dari pekerjaan tersebut. Ada hasil ada upah, tidak ada hasil tidak ada upah.
- Pekerjaan yang dilakukan harus pekerjaan yang halal tidak boleh pekerjaan yang diharamkan oleh syariat.
- Pekerjaan yang dilakukan dengan akad ju’alah adalah pekerjaan yang baru dirasakan manfaatnya setelah pekerjaan tersebut selesai atau hasilnya tercapai.
- Penentuan waktu lamanya pekerjaan juga tidak disyaratkan dalam akad ju’alah
- Akad ju’alah juga sering diistilahkan dengan janji memberi hadiah (sayembara).
Landasan hukum
Para ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah memandang ju’alah sebagai akad yang dibolehkan oleh syariat. Landasan kebolehan itu diambil berdasarkan QS. Yusuf: 72:
قَالُوا تَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ جَمَل بعير وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ
“Penyeru-penyeru itu berkata, ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.”
Dalam kisah Nabi Yusuf yang dimuat ayat tersebut terdapat akad ju’alah berupa janji memberikan upah, yaitu memberikan bahan makanan seberat beban unta bagi siapapun yang berhasil menemukan piala raja yang hilang.
Meskipun ayat di atas berbicara tentang syar’u man qablana (syariat umat terdahulu), tapi menurut para ulama, syariat itu juga diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad selama tidak bertentangan atau dianulir keberlakuannya dalam Islam.
Namun, Imam Az-Zarakasyi, dalam Al-Mabsuth mengomentari sekaligus membantah pendapat jumhur yang menjadikan QS. Yusuf: 72 sebagai dalil bolehnya ju’alah. Dia mengatakan:
وَلَا حَجَّةَ في قَوْله تَعَالَى: {وَلِمَنْ جَاءَ به حمل بعير) [يوسف: لأن ذلك كان خطابًا لغير مُعيّن فَإِنَّهُ لَوْ قَالَ: مَنْ رَدَّهُ فَلَهُ كَذَا وَلَمْ يُخاطِبُ بِهِ قَوْمًا بِأَغيَانِهِمْ فَرَدَّهُ أَحَدُهُمْ لَا يَسْتَحِقُ شَيْئًا، ثُمَّ هَذَا تعليق استحقاقِ الْمَالِ بِالْخَطر وهو قمار، والقمار حرام في شريعتنا، وَلَمْ يَكُن حَرَامًا فِي شَرِيعَةِ مَنْ
“Surat Yusuf ayat 72 (“Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta…”) tidak bisa dijadikan dalil (bolehnya akad ju’alah) sebab perkataan itu tidak ditujukan untuk orang tertentu. Sebab, jika seorang berkata, ‘Siapa yang dapat mengembalikannya maka baginya sekian.’ Sedang ia tidak berkata pada orang tertentu yang ditunjuk, lalu jika seseorang berhasil mengembalikan, maka dia tidak berhak mendapatkan apa-apa. Kemudian (ju’alah) ini menggantungkan hak atas harta kepada hal yang tidak jelas/spekulasi dan hal itu adalah gimar (judi), sedangkan judi haram dalam syariat kita dan tidak haram pada syariat sebelum kita.”
Di sisi lain, pensyariatan akad ju’alah juga ditemukan dalam hadis riwayat Imam Bukhari dari Abu Sa’id al Khudri tentang kisah sekelompok sahabat yang sedang melakukan safar kemudian diminta untuk me-rukiah pemimpin sebuah kampung yang digigit kalajengking dengan surat al-Fatihah dengan imbalan seekor kambing.
عن أبي سعيد الخدري: أن أناساً من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم أنوا حياً من أحياه العرب فلم يقروهم، فبينما هم كذلك إذ لدغ سيد أولئك القوم فقالوا: هل فيكم من راق؟ فقالوا: لم تقرونا ، فلا نفعل إلا أن تجعلوا لنا جعلاً، فجعلوا لهم قطيع ،شاء فجعل رجل يقرأ بأم القرآن ويجمع بزاقه ويتقل فبرئ الرجل فأتوهم بالشاء، فقالوا: لا تأخذها حتى تسأل رسول الله صلى الله عليه وسلم فسألوا الرسول صلى الله عليه وسلم عن ذلك فضحك وقال: ما أدراك أنها رقية؟ خذوها واضربوا لي معكم بسهم
“Dari Abu Sa’id al-Khudri, ‘Sekelompok sahabat Nabi Saw melintasi salah satu kampung orang Arab. Penduduk kampung tersebut tidak menghidangkan makanan kepada mereka. Ketika itu, kepala kampung disengat kalajengking. Mereka lalu bertanya kepada para sahabat, ‘Apakah kalian mempunyai obat, atau adakah yang dapat merukiah? Para sahabat menjawab, ‘Kalian tidak menjamu kami, kami tidak mau mengobati kecuali kalian memberi imbalan kepada kami.’ Kemudian para penduduk berjanji akan memberikan sejumlah ekor kambing. Seorang sahabat membacakan surat Al-Fatihah dan mengumpulkan ludah, lalu ludah itu ia semprotkan ke kepala kampung tersebut dan ia pun sembuh. Mereka kemudian menyerahkan kambing. Para sahabat berkata, ‘Kita tidak boleh mengambil kambing ini sampai kita bertanya kepada Nabi Saw. Selanjutnya mereka bertanya kepada beliau. Beliau tertawa dan bersabda, ‘Lho, kalian kok tahu bahwa surat Al-Fatihah adalah rukiah? Ambillah kambing tersebut dan berilah saya bagian.” (HR. Bukhari).
Hadis kedua yang mengisyaratkan diperbolehkannya akad ju’alah adalah riwayat tentang peristiwa perang Hunain. Rasulullah Saw bersabda:
من قتل فيلا له عليه الله الله عليه
“Barang siapa dapat membunuh seorang musuh, sedangkan dia memiliki seorang saksi, maka segenap perlengkapan si terbunuh boleh dimilikinya.” (HR. Muslim)
Pada perkara calo dan jastip war tiket konser Coldplay, maka bisa dikomparasikan dengan sejumlah poin akad ju’alah yang sudah dikemukakan mayoritas ulama. Hal itu dengan melihat kebiasaan jasa calo dan jastip tiket konser yang meminta imbalan di awal (bukan setelah hasil), biaya menggunakan persentase, bukan dengan angka pasti, mereka akan tetap menerima upah meskipun gagal, pekerjaan yang mereka lakukan adalah untuk sesuatu yang berpotensi melalaikan ibadah atau membuka peluang bermaksiat (konser), serta banyaknya contoh kasus penipuan lewat penawaran jasa tersebut.
Alhasil, jasa calo dan jastip war tiket konser bisa dinilai sebagai sesuatu yang tidak disarankan secara fikih karena sedikit banyak memiliki perbedaan dan tidak memenuhi prasyarat akad jua’alah yang diadopsi dalam konsep fikih. Wallahua’lam.