Ikhbar.com: Pemerhati fikih safar, Kiai M. Faizi menyebut masih banyak yang beranggapan bahwa tertib berlalu-lintas tidak memiliki korelasi dengan ketaatan di hadapan Allah Swt. Padahal, pembentukan aturan lalu lintas bersumber dari pertimbangan hak antarsesama pengguna jalan alias berkaitan dengan kewajiban menjaga hablum min annas (hubungan antarmanusia) yang juga sangat ditekankan dalam ajaran Islam.
“Kita sering menganggap menyerobot itu tak apa-apa. Padahal, bisa jadi, itu melanggar al-huquq al-murur (hak-hak perlintasan orang lain) yang dilarang dalam Islam,” kata Kiai Faizi, sapaan akrabnya, dalam Hiwar Ikhbar bertema “Fikih Lalu Lintas: Tertib dan Aman di Perjalanan,” pada Sabtu, 6 Mei 2023.
Menurut Kiai Faizi, seorang Muslim lebih disarankan untuk mengalah saat berkendara. “Nah, soal ini boleh berbeda dengan ritual ibadah. Jangan disamakan dengan berlomba berebut saf (barisan) dalam salat,” katanya.
Penulis Safari: Buku Saku Perjalanan (2020) itu menjelaskan, ketika berada di jalanan umum, seseorang bisa menganalogikan pertimbangan akan tindakannya melalui kaidah-kaidah ushul fiqih.
Menurutnya, ada kebiasaan ceroboh pengguna jalan di Indonesia yang sering ditemui di sejumlah wilayah. Yakni, membunyikan klakson kendaraan di saat traffic light belum kembali menyalakan warna hijau.
“Lampu merah itu tanda larangan melaju. Sementara klakson itu perintah bergerak. Nah, kaidah fikihnya ketika larangan dan perintah bertemu, maka yang menang larangannya,” kata Kiai Faizi.
Kaidah fikih juga berlaku dalam praktik rekayasa lalu lintas. Misalnya, menutup akses yang biasa digunakan publik adalah perkara terlarang. Akan tetapi, jika itu digunakan dalam kondisi darurat demi menghindari kemacetan yang lebih panjang, maka diperbolehkan.
Baca: Hukum Rekayasa Lalu Lintas selama Arus Mudik dan Balik Lebaran
Kiai Faizi hal itu sesuai dengan kaidah fikih:
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات
“Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang.”
“Kedaruratan diperingkat berdasarkan kerendahan risiko. Darurat bertemu darurat, maka dipilih kedaruratan yang paling rendah. Tetapi dalam konteks lalu lintas, yang berhak menentukan adalah ulil amri (pemerintah/kepolisian),” jelasnya.
Kedaruratan juga perlu ditimbang dalam kepemilikan kendaraan. Seseorang pemilik mobil, maka wajib memiliki garasi di rumahnya agar tidak mengganggu hak pengguna jalan lainnya.
“Maka di Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Syekh Wahbah Zuhaili membahas dengan jelas sejauh mana toleransi kedaruratan yang kita lakukan,” katanya.