Ikhbar.com: Kitab Uqud al-Lujjayn karya Imam Nawawi Al-Bantani begitu familiar di telinga para santri. Meski populer, nyatanya kitab ini nyaris tidak dijadikan referensi wajib di semua pesantren.
Terkait hal itu, ulama kharismatik asal Rembang, Jawa Tengah, KH Ahmad Mustofa Bisri memberikan penjelasannya.
“Kitab (Uqud al-Lujjayn) yang selesai ditulis tahun 1294 H ini, memang sangat populer di kalangan pesantren. Namun, ia tidak termasuk kitab muqarrar (referensi wajib),” tulis Gus Mus dalam kata sambutannya pada buku Wajah Baru Relasi Suami-Istri: Telaah Kitab ‘Uqud Al-Lujjayn yang disusun oleh Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) dikutip Ahad, 7 Mei 2023.
Gus Mus menjelaskan, sebenarnya banyak kiai pesantren yang tidak begitu sreg dengan kitab Uqud al-Lujjayn. Meski demikian, kata ‘sreg‘ tersebut bukan berarti para kiai tidak setuju terhadapnya.
“Inilah barangkali yang menyebabkan kitab itu biasa ‘hanya’ dibaca untuk pasaran di bulan Ramadan, dan tidak sebagai pelajaran resmi. Wallahu a’lam,” ungkap Gus Mus.
Bahkan, lanjut Gus Mus, sosok Kiai Bisri Mustofa sendiri, yang tak lain adalah ayah Gus Mus, mengaku tidak setuju jika kitab tersebut diajarkan di pondok pesantren.
“Ayah saya sendiri, Al-Maghfurlah Kiai Bisri Mustofa pernah menyatakan kurang setujunya kitab Uqud al-Lujjayn diajarkan. Secara kelakar beliau mengatakan bahwa kitab ini membuat lelaki besar kepala,” jelas pengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin itu.
Oleh sebab itu, kata Gus Mus, umumnya kitab tersebut hanya dibaca saat ngaji pasaran di bulan Ramadan.
Gus Mus menjelaskan bahwa, secara makna Uqud al-Lujjayn, bisa berarti Ikatan dua gelombang, bisa juga diartikan sebagai Ikatan dua perak.
Kedua kemungkinan makna itu boleh jadi memang dipertimbangkan oleh Imam Nawawi Banten (1813-1898 M) saat membuatnya sebagai nama kitabnya yang mengupas soal hal dan tanggung jawab suami istri.