Ikhbar.com: Arus mudik dan balik Lebaran 2023 berlangsung dengan aman dan lancar. Pergerakan sekitar 123 juta jiwa itu mampu dikawal dengan baik oleh pemerintah, terutama melalui para petugas yang bersiaga dan mencurahkan tenaganya secara langsung di lapangan.
Pada prosesnya, para petugas memberlakukan sejumlah rekayasa lalu lintas demi menjamin kelancaran pergerakan massal kendaraan tersebut. Salah satunya, dengan memberlakukan one way (satu jalur) pada jalan tol meski berimbas pada kemacetan laju kendaraan masyarakat setempat.
Pemerhati fikih safar, Kiai M. Faizi menjelaskan, meskipun menimbulkan dampak kemacetan bagi pengguna non-tol, tetapi pemberlakuan satu jalur tersebut sah secara fikih. Tentu, selain memang sudah diatur dalam hukum positif.
“Kondisi kedaruratan membuat yang semula dilarang, dalam hal ini menutup jalur atau menggunakan metode one way, menjadi boleh,” jelas Kiai Faizi, kepada Ikhbar.com, Rabu, 3 Mei 2023.
Dalam kasus tersebut, lanjut Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Jawa Timur itu, pemblokadean satu jalur dihukumi boleh karena demi terhindar dari kemudaratan (dampak negatif) yang lebih besar, yakni kemacetan dengan antrean yang lebih panjang.
“Petugas tentu saja sudah memilih yang lebih ringan kedaruratannya, dari pada dampak yang lebih besar,” katanya.
Menurut Kiai Faizi, hal itu selaras dengan keterangan Syekh Abdul Hamid Hakim dalam Mabadi’ Awaliyah fi Ushul al Fiqh wa Al Qawaid Al Fiqhiyah, tepatnya kaidah fikih ke-15:
الضرورات تبيح المحظورات
“Keadaan darurat dapat membolehkan semua yang dilarang.”
Baca: Hukum Memblokir Jalan untuk Hajatan
Begitu juga dengan kaidah fikih ke-19:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak bahaya (kerusakan) didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan.”
Sementara itu, bagi masyarakat umum, fikih melarang mereka untuk menerobos jalur yang telah ditutup tersebut.
Hal ini juga berlaku pada akses berputar kendaraan yang ditutup selama arus mudik dan balik. Padahal, ketika masa normal, akses itu digunakan pengendara setempat untuk berbalik arah.
“Tidak boleh (menerobos), jika yang menutupnya adalah umara (pemerintah yang tidak fasik), yang dalam hal ini adalah petugas dinas perhubungan (Dishub) atau polisi lalu lintas (Polantas). Kita harus taat pada aturan selama aturan itu masuk akal,” katanya.
Menurut penulis Safari: Buku Saku Perjalanan (2020) tersebut., hal itu sebagaimana termaktub dalam QS. An-Nisa: 59. Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Pakar fikih dan tafsir kontemporer, Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Wajiz menjabarkan makna ayat tersebut sebagai berikut:
“Wahai orang-orang Mukmin, taatlah kepada Allah dalam apa yang diturunkan-Nya dalam Al-Qur’an, taatlah kepada Rasulullah dalam sesuatu yang tercantum dalam sunah dengan tegas, dan taatlah kepada ulama yang memerintahkan kebaikan, serta para pemimpin dan orang yang punya otoritas dalam perkara yang mereka perintahkan berupa ketaatan kepada Allah dan kebaikan yang bersifat umum terkait masalah keduniaan.”