Pergulatan Muhammadiyah dan NU dalam Sebuah Lagu

Ilustrasi bendera NU dan Muhammadiyah. Dok muhammadiyah.or.id

Ikhbar.com: Lahir dan tumbuh kembang dalam tradisi keluarga Muhammadiyah yang taat, siapa sangka, Cholil Mahmud, vokalis grup musik Efek Rumah Kaca (ERK) mampu menghadirkan lagu berjudul “Putih” yang sarat dan kental dengan budaya keseharian masyarakat Nahdlatul Ulama (NU).

“Masa kecil saya tinggal di Kompleks Perumahan Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Orang tua saya Muhammadiyah, tetapi tempat kami bermain dan mengaji tak jauh dari pengaruh tradisi Islam tradisional yang didominasi NU,” katanya, dalam diskusi Musik Sufistik: Bedah Lirik “Putih” Efek Rumah Kaca, di Panggung Utama Arena Pekan Raya Cirebon (PRC), Watubelah, Sumber, Cirebon, Ahad, 5 November 2023, malam.

Diskusi tersebut merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 2023, hasil kolaborasi Ikhbar.com, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon, dan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) PCNU Kabupaten Cirebon.

Cholil menceritakan, hari-hari di masa kecilnya tidak lepas dari kebiasaan berkumpul sekaligus mengaji dan mendengarkan ceramah, terlebih ketika ada satu warga yang meninggal dunia.

“Namanya juga anak kecil, jadi yang penting bagi kita adalah bisa mengaji, bermain, kumpul-kumpul, sekaligus makan-makan saat acara tahlilan,” ungkapnya.

Pengalaman yang menurutnya berharga itulah, lanjut Cholil, yang kemudian menjadi pemantik saat menciptakan lagu bertema kematian dan kelahiran tersebut.

Vokalis ERK, Cholil Mahmud (tengah), dalam diskusi Musik Sufistik: Bedah Lirik “Putih” Efek Rumah Kaca, di Panggung Utama Arena Pekan Raya Cirebon (PRC), Watubelah, Sumber, Cirebon, Ahad, 5 November 2023, malam. Dok IKHBAR

Baca: Unsur Sufistik dalam Lagu-lagu Efek Rumah Kaca

Tahlilan simbol keguyuban masyarakat

Cholil memahami bahwa tradisi tahlilan yang terekam dalam memori masa kecilnya sebagai penanda keguyuban masyarakat. Ketika berita duka tersiar, masyarakat kala itu akan dengan sigap saling membantu, bergotong-royong, serta berkumpul ke rumah duka untuk mendoakan segala kebaikan dan berupaya mengurangi kesedihan keluarga yang ditinggalkan.

“Guyub sekali masyarakat saat itu. Tidak peduli NU atau Muhammadiyah, yang barangkali di tempat lain Ada yang mempersoalkan perbedaan tradisi, di sana justru kompak melakukan tahlilan. Bahkan, orang tua saya ketika meninggal pun, keluarga menggelar tradisi itu,” akunya.

“Jadi, secara alam bawah sadar, pengalaman dan pengetahuan itu sudah terinternalisasi dalam diri saya, tanpa peduli identitas NU atau Muhammadiyah,” sambungnya.

Di masa dewasa, kenangan-kenangan itu kemudian turut muncul sebagai ide menarik dalam proses kreatif saya sebagai seorang pemusik.

“Saya kepikiran, kayakanya bagus kalau sebuah liriknya dimasukkan kalimat ‘La ilaha illallah,’ sehingga pendengar secara tidak sadar ikut tahlilan. Maka saya masukkan itu di bagian backing vokal dalam lagu berjudul ‘Putih,” ungkapnya.

Baca: Kala NU-Muhammadiyah Kompak Tahlilan di Jerman

Kebaikan tidak mengenal identitas

Menurut Cholil, musik memiliki kekuatan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan kepada khalayak.

“Ada juga perasaan ingin membuktikan bahwa dengan bermain musik, enggak harus jauh dari agama. Melalui lagu-lagu yang kami ciptakan, sebenarnya ERK ingin memaknai relijiusitas secara lebih luas,” tegas Cholil.

Sementara itu, pemerhati isu sosial dan pengajar sosiologi agama di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati, Wakhit Hasim mengatakan, apa yang menjadi jalan kreatif yang ditempuh Cholil dan ERK tersebut patut diteladani. Dia menyebut, segala hal yang dilakukan mesti didasari dengan niat menyebarkan kebaikan.

Wakhit mengutip pendapat ulama kontemporer Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd yang menyebut segala pengetahuan bersumber dari peristiwa lalu terungkap lewat bahasa.

“Setelah itu, lalu berproses menjadi teks. Jadi, siapa pun bisa mengungkapkan dan mengekspresikan segala peristiwa yang telah dia tangkap kepada masyarakat,” katanya.

“Apalagi jika berhubungan dengan sesuatu yang dinilai sebagai kebaikan, seperti tahlilan yang dimaknai sebagai media mempererat ukhuwah, maka untuk mengungkapkan itu, tidak harus menunggu atau memerlukan Mas Cholil untuk menjadi NU atau Nuhammadiyah terlebih dahulu,” sambungnya.

Wakhit mengatakan, baik NU maupun Muhammadiyah, kedua organisasi kemasyarakatan Islam itu telah memiliki andil dan pengaruh luar biasa dalam menguatkan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk.

“Indonesia dengan ratusan identitas suku dan budayanya tetap kokoh, salah satunya, berkat kiprah NU dan Muhammadiyah. Di negara lain, yang tidak memiliki basis gerakan kedua tradisi itu, gampang terancam perpecahan meskipun komposisi perbedaan identitas di dalamnya lebih sedikit dan tidak sekompleks Indonesia,” katanya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.