Ikhbar.com: Generasi Z dan milenial diperkirakan akan menjadi lebih miskin dibandingkan generasi sebelumnya akibat tren doom spending.
Menurut Psychology Today, doom spending alias pengeluaran yang tidak masuk akal terjadi ketika seseorang berbelanja tanpa berpikir panjang karena merasa pesimistis terhadap ekonomi dan masa depan mereka.
Pengajar senior keuangan di King’s Business School, Ylva Baeckström mengatakan, praktik ini tidak sehat dan bisa berdampak sangat fatal.
“Hal ini terjadi karena anak muda terus-menerus online lalu menerima berita buruk. Hal ini membuat mereka merasa seperti kiamat,” katanya, dikutip pada Rabu, 25 September 2024.
Baca: Marriage is Scary? Ini Solusi sesuai Sunah Nabi
“Anak-anak muda kemudian menerjemahkan perasaan buruk tersebut menjadi kebiasaan belanja yang buruk pula,” tambahnya.
Akibat perilaku doom spending, Baeckström juga memperkirakan generasi Z dan milenial akan menjadi lebih miskin dibanding generasi sebelumnya.
“Generasi yang tumbuh sekarang adalah generasi pertama yang akan lebih miskin daripada orang tua mereka untuk waktu yang sangat lama. Ada perasaan (semacam putus asa) bahwa Anda mungkin tidak akan pernah bisa mencapai apa yang dicapai orang tua,” katanya.
Prediksi Baeckström itu sejalan dengan Survey Monkey yang melakukan peninjauan terhadap 4.342 orang dewasa di seluruh dunia. Hanya 36,5% dari mereka yang lebih baik daripada orang tua mereka secara finansial.
Sisanya, sebanyak 42,8% merasa khawatir dan pesimis terhadap kondisi finansial yang lebih buruk di masa depan.
Perilaku doom spending setidaknya terlihat dari wa terhadap lebih dari 1.000 orang Amerika pada November 2023. Hasil survei menunjukkan bahwa 96% orang Amerika khawatir tentang keadaan ekonomi saat ini dan lebih dari seperempatnya menghabiskan uang untuk mengatasi stres.
Baca: Jangan Pick Me! Ini Cara Bangun Jati Diri sesuai Ajaran Islam
Karyawan humas berusia 28 tahun yang tinggal di Kolombia bersama orang tuanya, Stefania Troncoso Fernández, mengatakan bahwa ia sudah pulih dari kebiasaan menghabiskan uang. Tetapi tingkat inflasi yang tinggi dan ketidakpastian politik membuatnya sangat sulit untuk merasionalisasi penghematan uang.
“Saya tahu pasti bahwa (biaya) makanan semakin tinggi setiap hari, dan di rumah saya kami tidak mampu makan dengan cara yang sama seperti yang kami lakukan mungkin setahun yang lalu karena harganya semakin mahal,” katanya.
Dua tahun lalu, Fernández mengatakan bahwa ia menghabiskan uang dengan sembarangan untuk pakaian dan perjalanan meskipun penghasilannya lebih sedikit daripada sekarang. Hal itu terutama karena ia merasa tidak mampu membeli rumah.
“Bukan hanya saya. Itu adalah sesuatu yang terjadi di lingkungan saya,” katanya.
Daivik Goel, pendiri perusahaan rintisan berusia 25 tahun yang tinggal di Silicon Valley, mengatakan bahwa ia adalah seorang yang suka menghabiskan uang untuk hal-hal yang tidak penting ketika bekerja sebagai manajer produk di perusahaan rintisan bioteknologi.
Kebiasaan tersebut berawal dari rasa tidak puas dengan pekerjaannya dan juga tekanan dari teman sebaya.
“Semua itu hanya perasaan ingin melarikan diri,” katanya.
Sementara itu, Samantha Rosenberg, salah satu pendiri platform pembangun kekayaan Belong mengatakan, belanja daring memperburuk masalah pengeluaran yang tidak masuk akal, tetapi melihat barang secara langsung dapat mencegah pembelian impulsif.
“Titik-titik keputusan tambahan seperti memilih toko, bepergian ke sana, mengevaluasi barang secara langsung, dan kemudian harus mengantre untuk membelinya akan membantu Anda memperlambat dan berpikir lebih kritis tentang pembelian Anda,” katanya.
Rosenberg juga menyarankan untuk kembali menggunakan uang tunai. Metode pembayaran yang mudah seperti Apple Pay dan Google Pay katanya meningkatkan risiko pengeluaran yang tidak perlu karena sangat cepat dan mudah.
“Metode ini mengabaikan emosi yang terkait dengan proses pengambilan keputusan pembelian. Metode ini juga menghilangkan rasa sakit karena harus menyerahkan uang. Anda harus meningkatkan rasa sakit karena harus membayar,” tambahnya.