Ikhbar.com: Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, menyimpan sebuah ironi jika ditelaah dari sektor ekonomi. Meski 85% penduduknya memeluk Islam, representasi Muslim di kalangan konglomerat terbilang sangat minim.
Data Forbes 2023 mengungkapkan bahwa hanya 12% dari 50 orang terkaya di Indonesia yang beragama Islam. Jumlah ini tidak sebanding dengan populasi mayoritas Muslim di Tanah Air.
Candidat Doctor of International Affairs di Johns Hopkins University, Ahmad Syarif, dalam artikel bertajuk “Mengapa jumlah konglomerat Muslim di Indonesia tidak dominan?” yang ditayangkan di The Conversation, pada Selasa, 17 September 2024), secara lebih detail menjabarkan bahwa pada 2023, hanya ada 12% Muslim konglomerat dengan kepemilikan aset sekitar 15,5 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau Rp232 triliun, dibandingkan dengan hampir 230 miliar dolar AS (Rp3.565 triliun) yang dikendalikan oleh konglomerat dari latar belakang agama lain.
“Persentase konglomerat Muslim berfluktuasi antara 11 persen dan 14 persen dari 2004 hingga 2023,” tulisnya.
Menurut Syarif, rendahnya jumlah konglomerat Muslim di Indonesia itu bukanlah kebetulan. Ia menduga ada tiga faktor utama yang memengaruhi fenomena tersebut, yakni ajaran Islam tentang kekayaan, minimnya jaringan ekonomi global, dan kroni kapitalisme.
Baca: 10 Orang Terkaya di Dunia, Data Forbes Terbaru
Ajaran Islam dan tantangan akumulasi kekayaan
Pertama, Syarif menyoroti perdebatan panjang dalam ajaran Islam terkait akumulasi kekayaan. Banyak ulama dan masyarakat Muslim Indonesia yang masih memandang negatif praktik perbankan konvensional, terutama sistem bunga yang dianggap riba.
Meskipun bank syariah berkembang dengan pesat, keraguan terhadap kehalalannya masih tetap ada. Hal inilah yang kemudian membuat banyak pengusaha Muslim memilih menghindari investasi besar yang melibatkan perbankan konvensional.
“Pada saat yang sama, di Indonesia konsep zuhud atau asketisme berkembang dengan marak. Ini meliputi ajaran yang menolak hal-hal duniawi yang dianggap berbahaya untuk kehidupan akhirat,” tulisnya.
Namun, Syarif mengingatkan bahwa asketisme tidak serta-merta menghambat pertumbuhan ekonomi. Ia merujuk pada penelitian Max Weber di Jerman pada abad ke-19, yang menemukan bahwa asketisme Protestan justru mendorong pertumbuhan ekonomi dengan memicu perilaku hemat dan kerja keras.
“Dalam konteks Indonesia, seharusnya asketisme juga bisa digunakan sebagai modal untuk mendorong akumulasi aset melalui tabungan dan investasi yang lebih besar,” tambahnya.
Baca: Resesi Ekonomi Pertemukan Nabi dengan Khadijah
Minimnya jaringan ekonomi global
Syarif juga menyoroti peran penting jaringan ekonomi dalam pertumbuhan kekayaan sebagai faktor kedua. Di kawasan Asia Timur, komunitas Tionghoa perantauan berhasil membangun jaringan bisnis lintas negara, yang tidak hanya menyediakan informasi dan peluang bisnis, tetapi juga mengembangkan kepercayaan yang diperlukan dalam melakukan bisnis di lingkungan yang penuh risiko.
Jaringan diaspora ini memungkinkan pengusaha Tionghoa mengatasi diskriminasi politik dan sosial di negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia, serta meminimalkan biaya transaksi dalam bisnis lintas batas.
Namun, di kalangan Muslim Indonesia, jaringan global semacam ini nyaris tidak ada. Meski secara ideologis mereka memiliki hubungan dengan negara-negara Muslim lain, hubungan ini belum berkembang menjadi jaringan ekonomi yang kuat. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa Islam di Asia tumbuh melalui jaringan perdagangan dari abad ke-11 hingga ke-18.
Menurut Syarif, alasan meredupnya jaringan ekonomi Muslim bukan semata-mata karena kolonialisme, melainkan karena melemahnya kekuatan ekonomi Muslim sebelum era kolonial.
Baca: Sensus 2024: 87,08% Penduduk Indonesia Beragama Islam
Kroni kapitalisme dan stagnasi Ekonomi
Faktor ketiga yang memengaruhi rendahnya konglomerasi Muslim di Indonesia adalah kroni kapitalisme. Sistem ekonomi ini memungkinkan pengusaha berkembang melalui kedekatan dengan pejabat pemerintah, bukan melalui kompetisi pasar yang sehat.
“Kroni kapitalisme menghalangi mobilitas ekonomi, terutama bagi kelompok baru seperti pengusaha amuslim,” kata Syarif.
Data Forbes menunjukkan bahwa peta kekayaan di Indonesia tidak banyak berubah dalam 30 tahun terakhir. Keluarga seperti Salim, Hartono, dan Riady, yang sudah kaya sejak era Orde Baru, terus mendominasi daftar konglomerat Indonesia. Sementara itu, pengusaha Muslim yang pernah berada di puncak, seperti keluarga Bakrie dan Jusuf Kalla, secara bertahap mulai keluar dari daftar Forbes.
“Meski mereka tetap berpengaruh dalam politik, mobilitas ekonomi mereka stagnan,” tambah Syarif.
Kekuasaan ekonomi yang didominasi oleh kelompok tertentu ini diperkuat oleh konsep “wealth defense” (pertahanan kekayaan) yang diperkenalkan oleh ilmuwan politik, Jeffrey Winters. Konglomerat besar menggunakan pengaruh politik untuk melindungi kekayaannya melalui regulasi dan kebijakan yang menguntungkan. Kondisi ini menciptakan oligarki yang sulit ditembus oleh kelompok lain, termasuk pengusaha Muslim.
Baca: Abu Yusuf, Ekonom Muslim Perumus Pajak Berkeadilan
Perspektif dan solusi
Meskipun jumlah konglomerat muslim rendah, Syarif menekankan bahwa ini bukan berarti Muslim di Indonesia lebih miskin secara keseluruhan. Sebagian besar Muslim berada dalam kelas menengah dan memiliki pengaruh signifikan di sektor politik, seperti di birokrasi dan parlemen.
“Dengan modal ekonomi yang memadai dan pengaruh politik yang kuat, seharusnya mereka memiliki akses lebih besar untuk mengakumulasi aset,” katanya.
Untuk mengatasi tantangan ini, Syarif menyarankan adanya perubahan dalam pandangan terhadap akumulasi kekayaan dan peningkatan jaringan ekonomi Muslim secara global.
“Diskusi akademis mengenai kurangnya konglomerasi Muslim di Indonesia bisa membuka ruang pembahasan mengenai sistem politik ekonomi di Indonesia, serta hubungan antara agama dan pertumbuhan ekonomi,” tulis Syarif.