Oleh: KH Sobih Adnan (Mudir Aam Ikhbar Foundation/Anggota Majelis Masyayikh JPPRA)
SEKALI waktu, Rasulullah Muhammad Saw didatangi seorang perempuan, Sa’idah binti Jazi. Ia bertamu bersama anaknya yang masih berusia setahun setengah. Nabi pun menyambut kehadirannya dengan memangku bocah tersebut. Namun, tanpa ba-bi-bu, balita polos itu tiba-tiba mengompoli Rasul hingga sang ibu menariknya secara paksa dari pangkuan manusia paling mulia itu.
Sampai akhirnya, Nabi bersabda, “Dengan satu gayung air, bajuku yang terkena kencing anakmu bisa dibersihkan. Akan tetapi, luka hati anakmu karena direnggut dari pangkuanku; tidak bisa diobati guyuran air, meski bergayung-gayung.”
Itulah sekelumit ibrah yang terpancar dari keteladanan Nabi. Tak ada saran kekerasan dalam mendidik anak. “Hendaknya kamu bersikap lemah lembut, penuh kasih sayang, dan hindarilah sikap keras dan keji.” (HR Bukhari).
Lantas, apa yang dipikirkan para pelaku kekerasan, terlebih kekerasan seksual di lingkungan pendidikan Islam? Di ruang yang mengatasnamakan pesantren? Adakah kiblat bagi mereka selain kelembutan Nabi Muhammad?
Akibat nila setitik; rusak susu sebelanga. Itu benar. Peristiwa kasuistik tak boleh dijadikan alat pukul gebuk rata. Kasus-kasus kekerasan yang menyasar sejumlah santri sebagai korbannya hanyalah nol koma nol sekian persen dari menggunungnya aneka kisah kelembutan dan kehangatan para kiai dan ustaz di dalamnya. Tapi, tak bisa juga hal itu dijadikan dalih pemakluman, hingga pesantren kian menjelma ruang penat yang menolak kritik dan masukan dari banyak orang.
Pesantren dan orang-orang di dalamnya harus mulai mewawas diri. Meminjam istilah Zenisme, pesantren harus mulai berani membunuh ‘kepesantrenannya’ sendiri. Sebagaimana anjuran Zen agar manusia mau membunuh ‘tuhan’, orang tua, lalu dirinya sendiri.
Membunuh ‘tuhan’, karena manusia memang gemar merumuskan konsep-konsep berdalih perintah tuhan, Namun, konsep tersebut malah mereka tuhankan hingga mendorongnya ke arah keserakahan. Siapa yang berbeda, ia singkirkan.
Membunuh orang tua, karena bagi banyak orang, orang tua adalah simbol kenyamanan. Orang tua adalah ingatan masa lalu yang indah. Hingga orang-orang pun jadi terlena, tak mau bangkit, berleha-leha.
Sedangkan maksud membunuh diri sendiri adalah mematikan ego. Di dalam ego, ada nafsu untuk mengontrol segalanya agar sesuai dengan apa yang diinginkan. Jika ketiganya berhasil dibunuh, yang tersisa hanyalah semurni-murninya kesadaran.
Alhasil, bunuhlah ‘kepesantrenan’ yang terkesan kolot, angker, tak tersentuh. Kembalilah pada kehangatan dan kelembutan kiai sebagai pewaris nabi. Sebab, itu jauh lebih penting ketimbang mempertahankan konsep, ego, dan kenyamanan, yang ujung-ujungnya malah menjadi pembunuh pesantren itu sendiri. Wallahualam.[]