Ikhbar.com: Artificial intelligence (AI) alias kecerdasan buatan dianggap sebagai karya paling mengagumkan di abad ini. Mempunyai kecepatan, akurasi, dan kecakapan dalam memproses data, AI kerap dinilai telah mendekati kesempurnaan berpikir selayaknya manusia.
Bagi banyak orang, AI menjadi simbol kemajuan peradaban manusia yang luar biasa. Namun, seberapa pun majunya, AI hanyalah hasil kreasi manusia yang terprogram dan terbatas.
Celah tersebut menegaskan bahwa betapa pun cangguhnya AI, tetap saja ia hanya alat yang harus tunduk pada keterbatasan desain. Tidak ada teknologi yang dapat menandingi kedalaman dan kompleksitas kecerdasan sejati pada diri manusia sejak awal penciptaannya.
Baca: Mengapa AI Terlihat Sangat Cerdas? Ternyata Ini Rahasianya
Kelemahan AI
Kekurang lain yang dimiliki AI salah satunya adalah ketiadaan etika dan empati. AI tidak memiliki kapasitas untuk memahami moralitas atau etika secara intrinsik. Pasalnya, ia dirancang berdasarkan algoritma dan data tertentu.
AI hanya bisa memproses sesuai dengan apa yang telah diprogramkan tanpa penilaian moral yang sejati. Misalnya, dalam kasus self-driving cars (kendaraan otonom), AI sering kali menghadapi dilema moral.
Jika menemui situasi berbahaya, seperti kecelakaan yang tak terhindarkan, AI tidak memiliki kemampuan untuk membuat keputusan moral yang bijak mengenai siapa yang lebih utama harus diselamatkan atau risiko apa yang mesti diambil.
Contoh lainnya ialah terkait kegagalan dalam penalaran kontekstual. Hal itu disebabkan AI hanya memahami data dan pola, tetapi tidak mengerti konteks secara keseluruhan.
Dikutip dari BBC, pada 2016, Microsoft merancang sistem AI bernama Tay yang difungsikan untuk belajar dari percakapan di media sosial (medsos). Namun, dalam waktu kurang dari 24 jam, Tay mulai mengunggah komentar ofensif dan rasis. Hal itu dikarenakan ia secara tidak langsung belajar dari interaksi pengguna di internet tanpa pemahaman kontekstual yang sebenarnya.
Kegagalan ini menunjukkan bahwa AI rentan terhadap bias dan kesalahan interpretasi jika data yang digunakan untuk melatihnya tidak disaring dan diatur dengan benar.
Baca: AI adalah Masa Depan Dakwah Digital yang Efektif dan Personal
Kecerdasan hakiki
Hal ini berbeda dengan kecerdasan hakiki yang diciptakan Allah Swt yang diberikan kepada manusia dengan kemampuan yang jauh melampaui dari sekadar pemrosesan data. Karunia tersebut sudah mencakup pemahaman yang mendalam, seperti intuisi, moralitas, dan kesadaran diri yang tak mungkin direplika algoritma.
Kecerdasan hakiki tidak hanya membuat manusia bisa berpikir, tetapi juga lebih lihai dalam merasakan sesuatu, merenung, dan memiliki kebebasan untuk memilih.
Penegasan kecerdasan hakiki yang diberikan Allah Swt kepada manusia ini telah disebutkan dalam QS. Ar-Rahman: 1-4.
Allah Swt berfirman:
اَلرَّحْمٰنُۙ. عَلَّمَ الْقُرْاٰنَۗ. خَلَقَ الْاِنْسَانَۙ. عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
“(Allah) Yang Maha Pengasih, telah mengajarkan Al-Qur’an.Dia menciptakan manusia. Dia mengajarinya pandai menjelaskan.”
Penekanan kecerdasan hakiki manusia dalam ayat tersebut terletak pada ayat keempat. Pada bagian ini, Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Munir menjelaskan tentang ajakan bersyukur bagi tiap-tiap manusia karena telah diciptakan Allah Swt.
Bersyukur telah diciptakan sebagai manusia ini, menurut Syekh Zuhaili, penting untuk terus diterapkan. Sebab, Allah Swt hanya memberi bayan atau berbicara dan kepahaman hanya diberikan kepada manusia, bukan hewan.
Sementara itu, Imam Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan lebih rinci terkait pemahaman kata “al-bayan.” Ia menegaskan bahwa manusia, dalam hal ini adalah Nabi Muhammad Saw telah diajarkan oleh Allah tentang pemahaman dan penjelasan antara halal dan haram. Selain itu, Rasulullah Saw juga telah dibekali pemahaman antara memilih kebenaran atau kesesatan.
Pada ayat ketiga, Imam Qurthubi menyebut bahwa kata “insan” adalah Nabi Adam As. Sementara “al-bayan” berarti nama segala sesuatu yang ada dan yang akan wujud. Sehingga, Nabi Adam As mampu berdialog dengan berbagai bahasa.
Pendapat ini dipertegas dengan keterangan Syekh As-Shawi dalam Hasyiyah Shawi ‘ala Tafsir Jalalain yang menyebut bahwa Nabi Adam As mampu berbicara dengan 700.000 bahasa.
Lain halnya pada pemahaman Imam Al-Maraghi. Dalam tafsirnya, ia menjelaskan bahwa “al-bayan” adalah kemampuan manusia untuk mengutarakan sesuatu di dalam hatinya dan menyampaikannya pada orang lain. Hal ini tentu tidak dapat terjadi dengan tanpa adanya jiwa dan akal. Sedangkan sesuatu di dalam keduanya adalah atas kuasa-Nya.
Dengan kata lain, jelas Imam Al-Maraghi, Allah Swt lah yang menghadirkan apa yang terlintas di dalam hati dan sanubari manusia. Jika tidak ada sebab ini, maka Rasulullah Saw pun tidak akan mampu mengajarkan Al-Qur’an pada umatnya.