Ikhbar.com: Koalisi bukan istilah baru dalam sejarah peradaban manusia. Sebutan ini dikenal sebagai upaya kompromi dan kerja sama antarpihak demi mencapai kemaslahatan bersama.
Syekh Izzat Shaleh Anini dalam Ahkamu al-Tahaluf al-Siyasiy fi al-Fiqhi al-Islamiy menjelaskan, sistem koalisi juga cukup akrab dalam tradisi kebudayaan dan politik bangsa Arab, bahkan jauh sebelum datangnya ajaran Islam.
“Tetapi, koalisi di sini semakna dengan kata al-Jiwar, yang berarti meminta perlindungan,” tulisnya, dikutip pada Rabu, 6 September 2023.
Setelah memasuki era kenabian Rasulullah Muhammad Saw, istilah itu juga masih diadopsi dan beberapa kali dipakai demi membantu kelancaran dakwah Islam. Dalam QS. At-Taubah: 6, Allah Swt berfirman:
وَاِنْ اَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ اسْتَجَارَكَ فَاَجِرْهُ حَتّٰى يَسْمَعَ كَلٰمَ اللّٰهِ ثُمَّ اَبْلِغْهُ مَأْمَنَهٗ ۗذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْلَمُوْنَ
“Jika seseorang di antara orang-orang musyrik ada yang meminta pelindungan kepada engkau (Nabi Muhammad), lindungilah dia supaya dapat mendengar firman Allah kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. (Demikian) itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui.”
Baca: Mendeteksi Istilah Politik dalam Al-Qur’an
Koalisi prakenabian
Menurut Syekh Anini, Rasulullah Saw merupakan sosok yang menjadi saksi adanya tradisi koalisi politik di masa Arab Jahiliyah. Bahkan, Nabi Saw pun memakai teknik tersebut sebagai solusi di beberapa masa kemudian.
“Di masa hidupnya, Rasulullah Saw telah menyaksikan beberapa kali koalisi dan perjanjian serta melakukannya sesudah diangkat menjadi Nabi. Bahkan sampai ketika membentuk pemerintahan di Madinah,” tulisnya.
Muhammad bin Ishaq bin Yasar atau Imam Ibnu Ishaq, dalam Sirah Ibnu Hisyam menyebutkan, perjanjian-perjanjian yang terjadi pada masa sebelum kenabian Muhammad Saw tersebut antara lain kesepakatan Al-Muthayyibin dan Al-Fudhul.
Perjanjian Al-Muthayyibin bermula ketika bangsa Quraisy yang memiliki enam kabilah, yaitu Abdul Dar, Ka’ab, Jamha, Sahna, Mahzum, dan ‘Adiy (kabilah Ahlaf) terlibat konflik dalam hak pengelolaan ka’bah dan sumur zamzam. Keturunan Abdul Manaf ingin mengambil hak pengelolaan dari Abdul Dar. Namun, lewat perjanjian yang mengarah pembentukan koalisi tersebut, mereka akhirnya tertuntut untuk saling menjaga kekuasaan yang telah diberikan dan dilarang untuk saling memperebutkan.
Masih menurut Sirah Ibnu Hisyam, perjanjian ini ditandai dengan satu perwakilan kabilah Abdul Manaf yang membawa mangkok berukuran besar berisi minyak wangi. Prosesi itu juga dihadiri oleh utusan Kabilah Asad, Zahrah, dan Tamim. Tiap-tiap dari mereka memasukkan tangannya ke dalam mangkok untuk melakukan perjanjian.
Di kemudian hari, Rasulullah Saw mengomentari perjanjian tersebut. Nabi Saw bersabda, “Aku pernah menyaksikan ketika berlangsungnya perjanjian Al-Muthayyibin, aku tidak mengingkarinya dan walaupun aku diberikan kekuasaan atas binatang ternak.”
Syekh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam Al-Rahiq al-Makhtum mengisahkan, sebelum diangkat menjadi Rasul, Nabi Saw juga pernah menyaksikan koalisi demi membela orang-orang yang teraniaya.
“Koalisi itu dikenal dengan hilfu al-fudhul.
Kisahnya ketika orang-orang Quraisy terpanggil untuk melakukan perjanjian, maka mereka berkumpul di kediaman Abdullah bin Jad’an, karena ia orang yang paling dihormati dan paling tua usianya,” tulisnya.
Mereka yang terlibat perjanjian tersebut adalah Bani Hasyim, Bani Muthalib, Asad bin Abdul Uzza, Zuhrah bin Kilab dan Tamim bin Murrah. Mereka melakukan perjanjian untuk tidak memberikan ruang perbuatan kezaliman di Kota Makkah baik terhadap penduduk pribumi maupun para pendatang.
Nabi Saw pun mendukung penuh deklarasi koalisi tersebut. “Kalau aku diundang (dalam hilfu al-Fudhul) di masa Islam, maka aku akan melayaninya,” sabda Nabi.
Di bawah naungan negara Madinah
Syekh Al-Mubarakfuri menceritakan, perjanjian untuk membentuk koalisi banyak dilakukan setelah Nabi Saw dan umat Islam hijrah dari Makkah ke Madinah. Koalisi paling monumental dikenal dengan peristiwa Baiat Aqabah pertama dan kedua.
Baiat Aqabah pertama didahului dengan masuk Islamnya enam orang pemuda dari Yatsrib yang berasal dari suku khazraj yang datang pada musim haji tahun 11 kenabian. Selanjutnya mereka berjanji untuk datang pada musim haji yang akan datang.
Pada musim haji berikutnya, yakni pada tahun 12 kenabian atau bertepatan pada Juli 621 M, 12 orang dari kalangan Anshar datang menemui dan membaiat Rasulullah Saw di Aqabah. Selanjutnya Rasulullah Saw mengutus Mushab bin Umair berangkat bersama mereka sebagai duta Islam pertama di Madinah.
Sementara itu, peristiwa Baiat Aqabah kedua terjadi pada tahun 13 kenabian bertepatan pada Juni 622 M. Mereka yang datang untuk melaksanakan ibadah haji kali ini berjumlah 75 orang dengan dua orang di antaranya perempuan.
Setelah melaksanakan haji, mereka menemui Rasulullah Saw yang sedang ditemani Abbas bin Abdul Muthalib. Pada malam itu Rasulullah Saw melakukan pembaitan kepada mereka.
Baca: Menilik Isi Piagam Madinah, Dokumen Nasionalisme Umat dalam Sejarah Islam
Selain itu, peristiwa koalisi yang tercatat dalam sejarah Islam adalah sebuah perjanjian damai dengan Yahudi di wilayah Madinah demi menciptakan keamanan dan penegakkan keadilan secara bersama. Perjanjian inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Madinah.
“Rasulullah Saw dalam melakukan koalisi ini bisa dikatakan sekaligus dalam rangka pembentukan negara baru di Madinah. Perjanjian itu dibuat antara kelompok Muhajirin dan Anshar yang berisikan seruan kepada orang-orang Yahudi agar memberikan kebebasan kepada mereka untuk memeluk agama Islam dan menjaga keselamatan harta benda,” katanya.