Oleh: Tris Wijaya
(Ketua Yayasan Miftahul Hikam Panguragan Cirebon, Pengajar di Pondok Pesantren Mu’allimin Babakan Ciwaringin Cirebon dan Pondok Pesantren Darul Fikr Arjawinangun Cirebon)
HIRUK pikuk politik 2024 kian memanas di lapangan. Begitu yang saya alami di daerah. Transaksi-transaksi suara untuk pemenangan sulit dibendung akibat arus informasi dan teknologi sehingga masuk di telinga saya. Deal-dealan politik begitu dahsyatnya. Senyap, namun sangat tampak. Entah bagaimana pasca pesta demokrasi nanti. Apakah kita akan menerima efek yang baik atau kah hanya dampak buruk?
Miris memang, tapi apa dikata ini realitas nyata yang tidak bisa kita bantah. Kontrak-kontrak politik yang transaksional itu sudah pasti mengeliminasi sisi-sisi humanis. Situasi sosial seperti ini membuat saya tergerak memposting kegiatan mengaji iqra kepada anak-anak usia dini. Hal itu dilakukan sebagai penegas posisi santri di pusaran politik 2024 yang sedang menghempas nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah, menurut saya tantangan santri dalam perpolitikan. Bagaimana seharusnya santri bersikap?
Fatwa kiai dampar
Saya teringat dengan fatwa pengasuh Pondok Pesantren Mu’allimin Babakan Ciwaringin Cirebon, KH. Muhammad Amin Halim, Kiai Pondok Pesantren Mu’allimin yang pada suatu kesempatan pernah mengatakan, “Ngaji dadi wong pinter, salat jama’ah dadi wong bener, urip pinter bae nipu, urip bener bae ditipu, urip aja nipu lan aja ditipu” yang artinya kurang lebih demikian “Ngaji biar jadi orang pintar, salat jamaah biar jadi orang bener, hidup pinter terus banyak yang nipu, hidup benar terus biasanya ditipu, hidup jangan menipu dan jangan ditipu,”
Dari fatwa itu, saya mengambil kesimpulan bahwa santri harus punya prinsip hidup yang baik, yakni yang tidak menipu dan tidak mudah ditipu.
Dalam konteks politik, tentu santri harus memiliki platform politik kebangsaan sebagaimana Gus Dur telah ajarkan kepada kita semua. Poros tengah kerap kali disebut istilah lazim dalam dunia perpolitkan Gus Dur. Apa dan bagaimana kita sebagai santri memaknai poros tengah itu?
Baca: Daftar Politikus Perempuan dalam Sejarah Peradaban Islam
Dalam hal ini, saya menafsirkan poros tengah dengan dampar (sebuah meja kotak persegi yang berfungsi sebagai penyanggah kitab kuning dalam kegiatan mengajarkan nilai-nilai agama untuk kebaikan hidup di dunia dan akhirat).
Fatwa Masyayikh Lirboyo mengatakan “Tujuan hidup santri itu menghadapi dampar”. Dalam praktiknya, tentu saja dampar yang dimaksud adalah majelis ta’lim untuk menebar risalah Islam setiap hari di rumah. Artinya, para alumni pesantren hendaklah istiqamah menghadapi dampar, bukan sibuk menabur pesona sembari menawarkan harga diri seorang santri di hadapan para politisi.
Dari ingatan itulah, saya tergerak menghidupkan majelis ta’lim, yang sebelum saya mesantren di Kewagean, kini majelis ta’lim adalah rumah kembali saya sepulang mesantren untuk menjalani hidup di atas rel poro kiai, yakni dampar. Saya mengajarkan huruf hijaiyah kepada anak-anak, menyampaikan risalah mengenai akidah Aswaja dan akhlak atau perilaku baik kepada para remaja dan orang tua di Masjid Jami’ Asy-Syuhada Lemahtamba Panguragan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat tiap malam rabu.
Saya baru merasakan menjadi alumni, bagaimana menghadapi dunia nyata seperti ini. Di majelis ta’lim inilah saya mulai memikirkan bagaimana di era transformasi digital 5.0 santri pondok pesantren nantinya bisa mengambil peran sebagai insan cendekia yang menebar ilmu melalui dampar masing-masing.
Seiring berjalannya waktu, tidak disangka-sangka, sekira 4 tahunan berjalan, akhirnya ada salah satu warga di desa saya yang menawarkan tanah wakaf. Saya menjadi tersadar bahwa dalam mengemban tugas mulia ini pasti menemukan kemudahan yang diberikan Allah Swt. Meski demikian, saya tidak langsung menerima wakaf tersebut, karena bagi saya amanah ini sangatlah berisiko di akherat saya.
Hingga pada suatu waktu saya berdiskusi dengan sesama alumni pesantren perihal kegoncangan jiwa saya, “menerima atau menolak pemberian tanah wakaf ini?”. Ia meneguhkan kepada saya sambil mengatakan, “risiko itu bukan dihindari, melainkan dicari celahnya, lalu dikuatkan kelemahan-kelemahannya.”
Diskusi tersebut seperti isyarah atau petunjuk bagi saya, setelah saya curhat bersama keluarga, akhirnya kami bertekad untuk memulai menghidupkan dampar yang lebih tersistematis lagi melalui pembentukan Yayasan Pendidikan Miftahul Hikam. Sebagai ketua Yayasan, tentu tantangan besar di depan mata akan saya hadapi. Termasuk bagaimana mendesain program-program yang sesuai dengan kondisi dan situasi sosial saat ini.
Baca: Rupa-rupa Makna Politik, dari Kamus Arab hingga Al-Qur’an
Sejak saat itulah, cacian, nyinyiran dan lain-lain sudah bukan menjadi hal baru bagi saya. Beruntung saya mesantren di pondok salaf, yang di sana selalu diajarkan gojlok-gojlokan sebagai latihan tarung retorika/argumen untuk saling menguatkan di antara para santri. Sehingga ketika saya menghadapi banyak cobaan dan tantangan seperti itu tidak begitu sulit untuk dilampaui.
Dari kisah ini, saya berkesimpulan bahwa menjadi santri yang ter-dampar itu bukan sepele, perlu perjuangan dan berpikir besar karena menghadapi risiko-risiko yang tidak kecil. Pilihan inilah yang saya tempuh. Semoga perjuangan melayani masyarakat melalui jalur dampar ini terus istiqamah dan bisa berkontribusi untuk negeri. Saya yakin banyak alumni pesantren salaf yang mengalami hal serupa dengan saya.[]