Oleh: Abdul Rosyidi (Pendiri dan Peneliti Umah Ramah)
CERITA rakyat dimaknai penulis Mantra Penolak Bencana (2023), Agung Firmansyah, sebagai kode kebudayaan yang melukiskan tentang bagaimana cara hidup manusia di masa lalu. Sebagai sebuah lukisan, cerita rakyat kemudian diyakini mempunyai pesan-pesan tersembunyi yang berkaitan dengan ekologi. Dan sebagai sebuah lukisan, tentu saja cerita rakyat bisa dengan bebas dimaknai oleh para pemaknanya sehingga tafsirannya membuka ruang yang seluas-luasnya untuk kepentingan kehidupan hari ini, termasuk saat dimaknai sebagai pengetahuan yang bicara tentang masalah lingkungan.
Tentu kita tidak bisa menagih kepastian tafsir dari cerita rakyat. Tapi bukankah kepastian juga tidak bisa kita temukan dalam tafsir atas apapun, termasuk tafsir atas ayat-ayat paling pasti dan paling suci sekalipun. Cerita rakyat mempunyai logikanya sendiri yang khas yang disebut para ahli folklor sebagai pra-logis. Unsur pra-logis inilah yang sebenarnya membuka ruang teramat luas bagi filsafat dan hermeneutika untuk bisa memahami sesuatu yang tidak bisa dituntaskan ilmu pasti.
Lalu apa yang ditawarkan cerita rakyat? Salah satunya adalah mitos. Jika logos (modus berpikir rasional) berusaha menjelaskan dunia, maka mitos merusaha melukiskannya. Kebenaran logos ada pada kepastian, presisi, dingin, dan objektif, sementara kebenaran mitos ada pada imajinasi, penghayatan, dan subjektivitas.
Mitos juga menggugat cara berpikir kita yang sangat cartesian, emak moyang dari logosentrisme, yang pada gelombang post-strukturalisme dikritik Jasques Derrida. “Aku berpikir maka aku ada” mengandung implikasi separasi dalam menjelaskan keberadaan manusia. Dengan meyakini hanya ada satu kepastian di dunia ini, yakni “aku” yang meragukan segala sesuatu, maka “aku” adalah pusat dari segala kehidupan. “Aku” cartesian adalah subjek: Aku yang utama, mengendalikan dan mengatur semesta. Sementara yang liyan adalah objek semata. Apa yang liyan itu? Segala selain aku: orang lain, dan tentu saja alam ini.
Baca: Umah Ramah: Mitos Bisa Jadi Sarana Permenungan
Mitos tidak sekadar bercerita tentang kisah pengantar tidur, melainkan berusaha menitipkan kode-kode tertentu agar menjadi bahan permenungan bagi kita tentang bagaimana cara dunia ini bekerja. Orang-orang dulu percaya bahwa tidak ada separasi, melainkan harmoni. Akan tetapi kita yang dididik dalam alam pengetahun modern, imbas kolonialisme, ini susah memahami dunia yang tidak terseparasi. Selalu ada jarak antara aku dan orang lain, begitu juga antara aku dan alam, lalu tentu saja aku dan Tuhan.
Saya tidak ingin terlalu jauh untuk membawa masalah dunia yang tidak terseparasi ke dalam narasi metafisis seperti konsep Manunggaling Kawula Gusti. Satu yang pasti, permenungan terhadap alam sehari-hari sudah cukup mudah untuk memahamkan kita tentang kemenyatuan. Yakni bahwa kita adalah bumi, kita tidak hidup di atasnya. Kita lahir dari bahan yang merupakan saripati bumi, ada unsur tanah dan banyak kandungan air air. Kita lahir dari penciptaan kreatif berbahan dasar tanah dan air.
Kita lahir dari penciptaan kreatif berbahan dasar tanah dan air.
Selanjutnya untuk bisa terus hidup, kita makan dan minum. Kita makan makanan dan minum air yang mempunyai kandungan, entah itu mineral, protein, karbohidrat, glukosa, vitamin, atau lain-lainnya. Semua zat-zat yang dinamai beraneka macam itu hakikatnya adalah manifestasi lain dari proses hidup tanah dan air. Tubuh dan tumbuh badan, pikiran, dan jiwa kita tak terpisah sedetikpun dari bumi. Kita adalah bumi, tidak hidup di atasnya.
Udara yang kita hirup lewat hidung dan masuk ke dalam paru-paru adalah kunci hidup terpenting. Setiap beberapa detik mekanisme tak sadar dalam tubuh kita mengambil sejumput udara, diambil saripatinya, lalu beberapa saat kemudian udara lain dikeluarkan. Mekanisme sederhana ini sangatlah penting bagi hidup manusia sehingga nafs dalam bahasa Arab berarti jiwa dan nyawa. Tapi bukankah kita juga sering lupa bahwa udara itu ada di setiap ruang semesta. Hidung, paru-paru, dan nyawa kita, terhubung langsung dengan daun dan pohon-pohon. Saat kita mengambil napas, dedaunan pun meresponsnya dengan cara kerja yang menakjubkan.
Baca: Udara Buruk Jakarta, Begini Penjelasan Gerak Angin dan Anjuran Pelestarian Alam dalam Al-Qur’an
Selama ratusan tahun manusia meyakini ada ruang kosong antara satu makhluk dengan makhluk yang lain. Ruang kosong yang sama juga berada di antara benda satu dengan lainnya. Keyakinan ini runtuh seketika saat fisikawan mengemukakan teori atom yang berlanjut dengan ditemukannya teori kuantum. Penemuan mereka meneguhkan bahwa tidak ada ruang antara di dalam semesta ini.
Selama ratusan tahun kita meyakini ada ruang kosong antara tubuh dengan pepohonan. Nyatanya, karbon yang diisap daun dan oksigen yang dihasilkannya terhubung dengan kita, makhluk yang membutuhkan oksigen untuk bernapas dan menghasilkan karbon sebagai hasil pembakaran yang menghasilkan energi kehidupan. Jadi tidak ada ruang kosong antara kita, juga dengan sesuatu apapun di semesta ini. Kita adalah pohon, kita adalah gunung, kita adalah bumi, dan kita tidak hidup di atasnya.
Tapi tetap saja semua penjelasan ini serasa sulit untuk dipikirkan, bukan? Karena itulah, mitos menawarkan kita sebuah logika dan cara berada yang berbeda. Dengannya, kita hanya perlu merenunginya.
Terakhir, buku Mantra Penolak Bencana (2023) adalah salah satu cara menarik dari penulisnya untuk menggugah kesadaran kita yang sudah terlalu lama mengasingkan alam. Esai-esai yang masih sangat mungkin untuk dikembangkan ini menunggu pemikiran dan aksi kreatif lainnya demi kehidupan dunia yang lebih baik di masa depan.[]