Ikhbar.com: Lembaga kemanusiaan global, ActionAid merilis data cukup mencengangkan. Menurut mereka, ada lebih dari tiga perempuan di Jalur Gaza, Palestina yang terbunuh dalam setiap jamnya.
“Perempuan dan anak di Gaza mengalami tingkat kekerasan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Gaza menjelma menjadi tempat paling berbahaya di dunia,” tulis pernyataan resmi ActionAid, dikutip dari Al Arabiya, Senin, 11 Desember 2023.
Baca: Kegigihan Al-Aqra, Perempuan Gaza yang Jadikan Oven Tradisional sebagai Simbol Perlawanan
Derita para ibu hamil
Koordinator Advokasi dan Komunikasi ActionAid Palestina, Riham Jafari mengungkapkan, para perempuan Gaza terbunuh dan terluka dengan sangat mengerikan. Hak-hak penting atas makanan, air, dan layanan kesehatan pun tidak dapat diakses oleh mereka yang masih bisa bertahan. Para perempuan tampak sangat mengalami tekanan psikologis karena selama dua bulan lebih hidup di tengah teror perang.
“Jumlah ibu dan anak perempuan yang dibunuh secara tidak wajar itu terus meningkat setiap jamnya,” kata Jafari.
“Sementara mereka juga harus berjuang mati-matian untuk memenuhi kebutuhan hidup,” sambung dia.
Menurutnya, sudah ada lebih dari 5.000 perempuan dibunuh Israel sejak 7 Oktober 2023 lalu. Sedangkan keseluruhan korban tewas setidaknya mencapai 18.000 orang.
Jafari juga mengungkapkan data bahwa sebanyak 50.000 perempuan di Gaza sedang dalam kondisi hamil. Sekitar 180 calon ibu itu di setiap harinya mempertaruhkan nyawa mereka untuk melahirkan tanpa perawatan medis yang memadai. Mereka menjalani operasi caesar tanpa sterilisasi, anestesi, atau obat penghilang rasa sakit.
Selamat pun tetap menderita
Mengutip keterangan seorang bidan di Rumah Sakit (RS) Al-Awda di Gaza, Jafari menyebut bahwa ada puluhan wanita Palestina terpaksa melahirkan tepat saat terjadinya pengeboman oleh Israel.
“Ada seorang perempuan yang rumahnya dibom, dan dia berhasil diselamatkan dari bawah reruntuhan. Dia sampai di rumah sakit dengan patah tulang di sekujur tubuhnya. Dia juga dalam proses persalinan aktif, jadi dia dilarikan ke ruang operasi. Syukurlah, dia dan anaknya selamat dan sekarang baik-baik saja,” kata Jafari.
“Tetapi, hak perempuan untuk mendapatkan tempat yang aman saat melahirkan telah hilang. Dia juga kehilangan haknya untuk mengakses kebutuhan dasar bagi dirinya dan bayi yang baru dilahirkannya,” lanjut dia.
Ketika serangan Israel kian membabi-buta, setidaknya ada 800.000 perempuan terpaksa mengungsi dari rumah mereka di Gaza.
Banyak perempuan kini tinggal di fasilitas yang sangat padat. Sebagian besar tempat itu hanya memiliki satu kamar mandi untuk setiap 700 orang dan satu toilet untuk setiap 150 orang.
Baca: Al-Mawasi, Kurang dari Separuh Luas Bandara Soetta untuk Tampung 1,8 Juta Pengungsi Gaza
Air yang bisa digunakan untuk mencuci sangat minim, bahkan lebih sering tidak ada sama sekali. Mereka tidak punya privasi, tidak perlengkapan untuk menjaga kebersihan, dan tidak memiliki alat-alat sanitasi.
Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA), lebih dari 80% dari 2,3 juta penduduk Gaza telah menjadi pengungsi.
Seorang relawan bantuan kemanusiaan untuk perempuan dan anak OCHA, Aya menceritakan pengalaman mirisnya selama bertugas di wilayah pengungsian.
“Sebagai seorang perempuan, saya sangat menderita. Saya tidak mempunyai akses terhadap kebutuhan dasar hidup, tidak ada air, dan saya menderita selama menstruasi,” katanya.