Ikhbar.com: Ketika bom udara Israel berhasil meledakkan satu bangunan di Jalur Gaza, bocah bernama Pretty Abu-Ghazzah (8) langsung tersentak dan refleks berdiri. Sementara adiknya, yang berusia lima tahun, berlari ke pelukan ibu mereka, Esraa. Tidak cuma itu, adik bungsu Pretty yang masih bayi, menjerit dan menangis dengan keras.
Pengeboman besar-besaran memang makin menyasar di dekat rumah mereka di Deir El-Balah, Gaza bagian tengah. Oleh karena itu, Esraa akhirnya memutuskan untuk membawa anak-anak ke rumah sang mertua di daerah yang dinilai belum menjadi bidikan bomber negara zionis tersebut.
Namun, kata Esraa, upaya itu pun tidak bisa menghindari dampak perang bagi kesehatan mental anak-anak.
“Saya tidak tega melihat anak-anak gemetar dengan wajah yang pucat karena ketakutan. Itu terlalu menyakitkan. Hari ini mereka sudah muntah beberapa kali karena panik,” kata ibu berusia 30 tahun tersebut, dikutip dari Al Jazeera, Ahad, 29 Oktober 2023.
Hampir setengah dari 2,3 juta orang terjebak di Gaza. Anak-anak di sana dilaporkan telah menderita gangguan mental dan emosional akibat blokade dan kekerasan yang terjadi selama bertahun-tahun.
Lembaga nirlaba Save the Children pada tahun lalu menyimpulkan, empat dari lima anak di daerah konflik itu mengidap depresi, kesedihan akut, dan ketakutan.
Baca: Kritik untuk Shakespeare dari Anak-anak Korban Teror Bom Israel di Gaza
Berbagai cara
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Gaza, Ashraf Al-Qedra melaporkan, warga Palestina yang meninggal dunia imbas perang telah mencapai 7.326 jiwa. Dari total tersebut, sebanyak 3.038 di antaranya anak-anak. Sedangkan sebanyak 18.484 warga Gaza mengalami luka-luka.
Konflik di tahun ini semakin membuat para orang tua di Gaza berjuang untuk menjaga anak-anak mereka agar tetap hidup dan memiliki mental yang sehat.
Kondisi kian berat setelah Israel memutus aliran listrik di Gaza pada awal pekan lalu. Warga kini hidup dalam kegelapan di tengah berkurangnya pasokan bahan bakar yang diperlukan untuk mengoperasikan generator. Meski begitu, banyak orang tua tetap berupaya untuk memanfaatkan keterbatasan akses internet guna mencari hiburan bagi anak-anak mereka lewat YouTube maupun melalui konten yang disuplai di grup WhatsApp kelompok pendukung mereka.
Esraa mengatakan, keprihatinan para ibu terhadap anak-anak mereka semakin besar. Selain muntah-muntah, anak-anak juga menderita buang air kecil yang tidak disengaja. Hal ini merupakan gejala yang menurutnya baru terjadi seiring ketakutan mereka yang terus meningkat.
“Anak saya tidak pernah mengalami masalah buang air kecil yang tidak disengaja seperti ini sebelumnya,” katanya.
Baca: Pengaruh Iman dan Moral terhadap Kesehatan Mental
Masih menurut laporan Save the Children, sebesar 79% orang tua di Gaza melaporkan peningkatan jumlah frekuensi mengompol di kalangan anak-anak. Padahal, pada konflik 2018 lalu, jumlahnya hanya sebesar 53%.
Selama perang Israel-Hamas yang terjadi pada 2021 lalu, gejala gangguan mental anak-anak juga ditemukan berupa kesulitan dalam berbicara, berbahasa, komunikasi, serta ketidakmampuan dalam menyelesaikan tugas.
“Saya menemukan banyak video YouTube yang bermanfaat, seperti tentang cara berbicara dengan anak-anak. Penting untuk terlibat dalam percakapan dengan mereka dan mendiskusikan apa yang terjadi di sekitar mereka,” kata Esraa.
Esraa dan banyak ibu lainnya di Gaza memang mengandalkan sumber online untuk terus mempelajari cara menjaga mental anak-anak agar tetap terhibur selama konflik berlangsung. Bahkan, mereka sengaja tidak begitu membatasi waktu pemakaian gawai bagi anak-anak.
“Saya biasanya membatasi penggunaan iPad anak-anak saya, tetapi mengingat keadaan yang menyedihkan ini, saya mengizinkan mereka menonton film kartun untuk menghibur diri mereka sendiri. Saya memastikan iPad atau ponsel saya tetap terisi dayanya saat mereka menonton, terutama ketika kondisi sudah sangat darurat,” jelasnya.
Esraa juga kerap membacakan cerita untuk anak-anaknya.
Baca: Aib Konflik Israel-Palestina: Kegetiran Perempuan di Tengah Perang
Dalam Laporan Hasil Tinjauan Kebutuhan Kemanusiaan (2022), Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB memperkirakan sebanyak 678.000 anak di seluruh Palestina membutuhkan layanan dukungan kesehatan mental dan psikososial. Sayangnya, layanan yang tersedia belum cukup untuk memenuhi kebutuhan yang signifikan, terutama pada saat-saat sulit. Hal ini membuat para orang tua yang juga menghadapi masalah kesehatan mental dan emosional harus mencari cara untuk menenangkan anak-anak mereka yang ketakutan.
Esraa mengeluh, anak-anak juga kini menyerap apa yang biasa dilakukan ibu mereka ketika ada kabar sebuah bom meledak di kawasan tertentu.
“Anak-anak saya sering bermain telepon-teleponan dan berpura-pura bertanya dalam percakapan tersebut, ‘Halo, bagaimana kabarmu di sana? Apakah selamat?’ Iya, mereka menirukan cara kami ketika sedang mengkhawatirkan orang-orang tersayang yang berada di wilayah lain di Jalur Gaza,” kata dia.
Kisah yang sama juga diungkapkan Rawan (30). Ibu tiga putri itu mengaku kian rutin membuka YouTube maupun portal online guna mendapatkan pengetahuan tambahan tentang cara menguatkan mental anak di tengah perang.
“Putri saya, Aysel (9), Areen (6), dan Aleen (4), sangat terpengaruh oleh suara bom yang mengerikan. Apalagi bagi Aysel yang sudah mulai mengerti apa itu perang. Dia sering mogok makan dan minum. Saya juga memperhatikan detak jantungnya semakin meningkat,” katanya.
Guna meredakan kecemasan mereka, Rawan mencoba melibatkan putrinya dalam permainan dan aktivitas kelompok. Sebagai panduan, Rawan beralih ke YouTube dan konten-konten yang dikirim para guru mereka untuk membantu para ibu menguatkan mental anak-anaknya.
Salah satu tips yang diterima para ibu antara lain dengan memantau anak-anak secara cermat untuk mencari tanda-tanda kecemasan yang mungkin sulit mereka ungkapkan secara verbal. Dalam situasi ini, para ibu disarankan mendorong anaknya untuk mengekspresikan diri secara kreatif melalui tulisan cerita atau gambar sebagai pelampiasan dan pengolahan perasaannya.
Seperti banyak orang di Gaza yang mencari tempat berlindung yang aman dari penembakan, Rawan dan keluarganya menghabiskan tiga hari pertama serangan Israel di rumah mereka di Al-Nasr, di Kota Gaza. Namun, setelah pemboman semakin intensif di dekat tempat tinggal mereka, Rawan pun memutuskan pindah ke kamp pengungsi Nuseirat dekat Deir El-Balah di jantung Jalur Gaza. Dan seperti yang dikisahkan Esraa, anak-anak Rawan pun berpotensi tetap terdampak secara mental.
“Mereka selalu dekat dengan saya, bahkan ketika saya sedang menyiapkan makanan. Saya terus-menerus merangkul dan menghibur mereka,” katanya.
Ketika putrinya bertanya tentang perang yang sedang berlangsung, Rawan mencoba mengalihkan perhatian mereka dengan menunjukkan foto dan video saat-saat bahagia atau mengajak mereka bermain, membaca berkumpul, lalu berpelukan.
Baca: Potret Kezaliman di Penjara Israel, Tahan Anak-anak dan Perempuan tanpa Pengadilan
Dukungan kesehatan mental
Beberapa ahli kesehatan mental telah menyediakan sumber daya gratis di media sosial. Dalam sebuah postingan di Facebook, Pusat Konseling Palestina mengumumkan pembentukan tim darurat nasional untuk memberikan layanan psikososial gratis melalui panggilan telepon maupun WhatsApp.
Postingan tersebut mencakup daftar nama dan kontak spesialis kesehatan mental dan pekerjaan sosial profesional di seluruh Palestina yang siap dihubungi.
“Anak-anak pasti terpengaruh oleh konsekuensi agresi Israel, meningkatnya tingkat kekerasan, meluasnya penyebaran foto-foto yang menggambarkan korban dan kehancuran, serta suara ledakan yang terus menerus,” jelas Muayad Jouda, seorang psikiater yang berbasis di Gaza.
Dia mengatakan, anak-anak berpotensi menderita gangguan mental dengan gejala berupa kemarahan hebat, tangisan tanpa henti, atau teriakan yang berkepanjangan.
Ansam, seorang ibu dari dua anak mengaku bahwa tanda-tanda itu ada pada kedua buah hatinya.
“Saya selalu memeluk dan menghibur mereka. Karena itu adalah naluri keibuan. Tapi sebagai manusia biasa, saya sendiri pun ketakutan,” katanya.
“Sungguh, di tengah pembantaian yang kita alami dan saksikan, kesehatan mental adalah sebuah kemewahan. Yang kami inginkan hanyalah mereka, anak-anak, bisa tetap hidup,” sambung Ansam.