Ikhbar.com: Heba Zagout memimpikan kebebasan setiap kali menggoreskan kuasnya di atas kanvas. Sebagai seorang pendidik dan seniman, dia mendedikasikan hidupnya untuk mendokumentasikan warisan dan sejarah Palestina yang terancam terhapus oleh kekejaman Israel.
Karya-karya Zagout dinilai sangat mendalam, kaya akan keindahan dan detail, dan kerap menyuarakan semangat rakyat Palestina.
Dalam lukisannya, Zagout sering memasukkan unsur-unsur ikonik seperti rumah warga Palestina, lahan pertanian, aktivitas sehari-hari, semak belukar dan pepohonan, masjid, gereja, serta bangunan lainnya yang dinilai lekat dengan kehidupan warga Jalur Gaza.
Baca: Kegigihan Al-Aqra, Perempuan Gaza yang Jadikan Oven Tradisional sebagai Simbol Perlawanan
Seniman pejuang
Zagout dilahirkan di kamp pengungsi Al Burej, Kota Gaza. Dia tumbuh bersama cerita para leluhurnya yang secara rutin menggambarkan peristiwa-peristiwa menentukan jelang pendirian paksa Negara Israel pada 1948.
Menurut saudara perempuannya, Maysaa Ghazi, Zagout memiliki kegandrungan melukis sejak belia.
Pada 2003, Zagout menamatkan pendidikan diploma desain grafis. Empat tahun kemudian, ia lulus dari Universitas Al-Aqsa di Gaza dengan spesialisasi seni rupa. Setelah itu, Zagout lebih memilih untuk mengabdikan diri menjadi guru seni di sekolah dasar di kota dengan kontrol ketat militer Israel tersebut.
Meski begitu, Zagout seakan tidak peduli. Ia terus mengajar dan melukis. Namun, pada 13 Oktober 2023, hidupnya berakhir tragis akibat pengeboman udara Israel. Zagout dan dua putranya, Adam dan Mahmoud, tewas di tempat.
“Zagout biasa menjual karya seninya untuk menghidupi anak-anaknya. Tapi Israel telah menghancurkan rumah dan menghentikan perjuangannya,” keluh Ghazi, dikutip dari Middle East Eye, Rabu, 13 Desember 2023.
Perwakilan kelompok hak asasi manusia (HAM) Jerman, Medico International, yang bernama Chris Whitman-Abdelkarim, mengaku pernah melihat langsung karya Zagout dua tahun lalu. Ia menyebut Zagout sebagai seorang seniman yang berhasil menawarkan keindahan hingga berhasil memikat banyak penggemar dari seluruh dunia hanya dengan menggunakan Instagram.
Ribuan orang tertarik dengan lukisan akriliknya yang berani dan indah, serta mampu membawa mereka menjelajahi desa-desa kota-kota Palestina, Yerusalem, serta Kompleks Al-Aqsa melalui sudut pandang seorang pengungsi yang tinggal di Gaza.
“Zagout adalah satu dari sejuta talenta. Dia merangkum segala arti menjadi orang Palestina dan mencurahkan hati dan jiwanya ke dalam sebuah karya seni,” kata Whitman-Abdelkarim.
“Dia mendedikasikan hidupnya untuk murid-murid di kelas dan menghabiskan setiap momen membantu mereka menggunakan seni untuk mengatasi kehidupan yang sangat sulit di Gaza,” tambahnya.
Baca: Al-Mawasi, Kurang dari Separuh Luas Bandara Soetta untuk Tampung 1,8 Juta Pengungsi Gaza
Melukis cita-cita kemerdekaan Palestina
Hal senada dikatakan seorang jurnalis Palestina-Amerika, Laura Albast. Dia menyebut, karya Zagout sangat lekat dengan pengalamannya sebagai perempuan yang tinggal di Gaza.
“Sayangnya saya baru akrab dan berbicara dengannya hanya dua hari sebelum dia dibunuh,” katanya.
“Zagout adalah perempuan yang telah membawa begitu banyak kegembiraan ke rumah-rumah para penggemarnya,” sambung Albast.
Pada 2021, Zagout pernah menggelar pameran tunggal bertajuk “My Children in Quarantine (Anak-Anakku di Karantina)” yang berfokus pada kehidupan di masa pandemi Covid-19.
“Lukisan-lukisan Zagout sangat indah, hidup, dan penuh warna, dan cita-cita kebebasan dari Gaza,” ucap Dosen Jurusan Bahasa Inggris di Universitas Hawai, Cynthia Franklin.
Franklin mengaku sangat menggemari satu lukisan Zagout yang menggambarkan sebuah pohon zaitun.
“Itu lukisan paling mewah yang menyuguhkan kisah sejarah, waktu, dan ketahanan bangsa Palestina,” katanya.
Menurut Franklin, lukisan lainnya yang sangat ia kagumi adalah sebuah gambar diri Zagout yang sedang menunjukkan makna sebagai perempuan muda Palestina penuh senyum di sebuah desa yang tenang.
Dalam unggahan Instagram-nya, lukisan itu diberi keterangan oleh Zagout, “Saya dilahirkan dengan membawa kata pengungsi. Saya belum pernah melihat kampung halaman saya, tapi bibi saya, Alia, mengumpulkan kami dan banyak memberi tahu tentang tanah kakek dan kebun jeruk, serta musim panen di rumah yang penuh cinta dan kehidupan.”
“Saya melihat kerinduan di mata bibi saya ketika dia menceritakan kepada kami kisah-kisah tentang masa lalu. Inilah karya terbaru saya berukuran 80 cm x 60 cm, akrilik di atas kanvas,” tulis Zagout.
Pada 3 Oktober, lukisan itu terjual. Lantas, 10 hari kemudian, Zagout wafat dihantam kebengisan Israel.