Definisi ‘Salihah’ hingga ‘Ulama’ dalam Kamus Mubadalah

Kiai Faqih menolak anggapan bahwa Mubadalah adalah agenda feminis asing.
Ilustrasi dari hasil olah digital. Dok IKHBAR

Ikhbar.com: Kata “salihah” sering kali dikaitkan dengan citra perempuan ideal yang santun, lembut, dan tunduk kepada suami. Gagasan ini tumbuh subur dalam ceramah-ceramah populer, nasihat pernikahan, hingga khotbah akad nikah yang menekankan kepatuhan istri sebagai ukuran utama kebajikan dalam rumah tangga.

Padahal, konsep ketundukan tunggal ini kerap menjadi akar relasi yang timpang. Istri yang bekerja di ranah publik masih dituntut menunaikan seluruh beban domestik, sementara suami merasa tugasnya selesai setelah “memberi nafkah.” Tidak jarang, narasi “istri harus taat” juga menjadi dalih pembenaran kekerasan atau kontrol berlebihan terhadap perempuan.

Ketimpangan tafsir ini menimbulkan pertanyaan besar, “Benarkah kesalehan hanya milik istri yang patuh? Bagaimana Islam sejatinya memandang relasi suami-istri yang adil dan setara?”

Pertanyaan tersebut hadir dalam perbincangan pada program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Membedah Dakwah Mubadalah,” bersama penulis, pemikir Islam, sekaligus pendiri Mubadalah.id, Dr. KH Faqihuddin Abdul Kodir.

Kiai Faqih, demikian sapaan karibnya, menjelaskan bahwa hadis-hadis tentang kesalehan perempuan sering dipahami secara sepihak. Banyak orang menuntut perempuan agar patuh tanpa mempertimbangkan konteks relasi yang adil. Padahal, Islam tidak pernah mengajarkan kepatuhan buta.

“Bukan istri patuh suami. Yang salihah itu adalah istri dan suami saling mematuhi kebaikan,” ujar Kiai Faqih, dalam tayangan di Ikhbar TV, dikutip pada Selasa, 27 Mei 2025.

Kiai Faqih mengajak umat Islam untuk membaca ulang teks-teks keagamaan dengan pendekatan yang adil. Ia menekankan bahwa hadis tentang istri salehah tidak harus dimaknai sebagai tuntutan satu arah. Hadis tersebut bisa menjadi sumber inspirasi, asalkan dibaca dengan pendekatan resiprokal atau timbal balik.

Penulis dan pendiri Mubadalah.id, Dr. KH Faqihuddin Abdul Kodir (kanan) saat menjadi narasumber dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Membedah Dakwah Mubadalah,” di Ikhbar TV. Dok IKHBAR

Baca: Kiai Faqih: ‘Halalkan Diriku’ adalah Ungkapan Keliru

Mubadalah sebagai metode tafsir dan gerakan sosial

Kiai Faqih pertama kali memperkenalkan Mubadalah sebagai metode tafsir. Istilah ni diambil dari Bahasa Arab “mubādalah” yang berasal dari akar suku kata “b-d-l” berarti mengganti, mengubah, dan menukar. Metode ini mengharuskan pemakaian prinsip kesalingan saat membaca dan menafsirkan Al-Qur’an dan hadis. Pasalnya, kata Kiai Faqih, pesan moral dalam teks keislaman tidak hanya berlaku bagi satu jenis kelamin.

“Misalnya, seorang perempuan harus sabar sebagaimana istri Nabi Ayub As. Kalau istri harus sabar, laki-laki juga mesti sabar,” katanya.

Lambat laun, metode ini berkembang menjadi paradigma dakwah dan gerakan sosial. Banyak santri, peneliti, aktivis, hingga jurnalis turut bergabung dalam pelatihan. Mereka pun kemudian menyebarkan prinsip-prinsip keadilan dalam relasi laki-laki dan perempuan melalui media, pendidikan, dan dakwah digital.

Dalam pandangan Mubadalah, rumah tangga bukan arena kekuasaan, tetapi ruang kolaborasi. Suami tidak otomatis menjadi pemimpin yang harus ditaati secara mutlak. Istri juga tidak wajib menanggung seluruh urusan domestik.

Contohnya, lanjut Kiai Faqih, pemenuhan kebutuhan makan sehari-hari. Jika salah satu dari pasangan lapar, maka siapa pun yang mampu memasak sebaiknya melakukannya. Jika tidak, keduanya bisa berbagi peran atau mencari solusi bersama. Intinya, rumah tangga harus dibangun atas dasar kesalingan, kesadaran, dan kesepakatan.

“Masak itu kan soal memenuhi kebutuhan makan. Nah, siapa yang bisa ya dia yang melakukan. Kalau bisa dua-duanya, dilakukan bareng itu romantis. Enggak bisa dua-duanya, kan bisa pakai GoFood (layanan pesan antar makanan),” ujar Kiai Faqih.

Menurut penulis Qira’ah Mubadalah (2021) tersebut, selama ini sebagian aktivis membongkar teks-teks klasik dengan pendekatan dekonstruktif. Mereka mengkritik hadis dan ayat yang dianggap bias gender. Namun, Kiai Faqih memilih jalan lain. Ia tidak menolak teks, melainkan merekonstruksinya dengan semangat keadilan.

Menurut Kiai Faqih, pendekatan ini lebih tepat untuk konteks masyarakat Muslim di Indonesia. Sebab, banyak orang masih mengandalkan kitab-kitab klasik sebagai rujukan agama. Maka, tafsir baru harus tetap menghormati teks, sambil menghadirkan pemaknaan yang lebih adil.

“Jadi, misalnya, orang mengatakan tentang hadis istri salihah itu misoginis. Karena misoginis, maka dikritik lalu dianggap salah. Kemudian pertanyaannya, lalu pakai apa? Kalau pakai undang-undang, orang belum tentu paham. Kalau pakai (teori) kesetaraan gender, orang enggak kenal. Kalau menurut saya, ya hadis ini bisa dipakai dengan dengan Mubadalah,” tegasnya.

Baca: Sejarah yang Hilang, Pentingnya Pengarusutamaan Peran Ulama Perempuan

KUPI dan ulama perempuan

Selain membangun dakwah Mubadalah, Kiai Faqih juga berperan besar dalam kelahiran Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Kongres ini lahir dari kesadaran bahwa banyak perempuan yang mumpuni dalam ilmu agama, tetapi tidak diakui sebagai ulama.

Kiai Faqih menegaskan bahwa ulama bukanlah gelar biologis.

“Ulama adalah mereka yang berilmu, bertakwa, dan berkontribusi untuk kemaslahatan umat. Maka, perempuan yang hafal Qur’an, mengajar tafsir, memimpin pesantren, dan memperjuangkan hak-hak perempuan, layak disebut ulama,” terangnya. 

KUPI membuka ruang kolektif agar para perempuan tidak lagi ragu menyebut diri mereka sebagai ulama. Kongres ini juga menunjukkan kepada dunia bahwa Islam memiliki tradisi keulamaan perempuan, dan Indonesia menjadi pelopornya.

Kiai Faqih menolak anggapan bahwa Mubadalah adalah agenda feminis asing. Sebaliknya, justru menyebut Mubadalah sebagai bagian dari dakwah Islam rahmatan lil ‘alamin. Tujuannya bukan menciptakan benturan antara laki-laki dan perempuan, melainkan menghadirkan relasi yang adil dan saling menghargai.

Ia mengingatkan bahwa banyak dai atau penceramah masih menggunakan candaan yang cenderung merendahkan perempuan. Namun, Kiai Faqih tidak menganjurkan konfrontasi, melainkan lebih untuk menekankan dialog dan edukasi.

Menurut Kiai Fqih, perubahan tidak lahir dari debat kusir, tapi dari proses panjang pembelajaran dan keteladanan.

Kiai Faqih mengajak masyarakat untuk memandang perempuan sebagai manusia utuh. Manusia memiliki tubuh, akal, dan jiwa. Jika seseorang hanya melihat perempuan dari sisi tubuh, maka relasinya akan cenderung eksploitatif. Tapi apabila seseorang menghargai perempuan secara utuh, maka kekerasan, pelecehan, dan subordinasi tidak akan terjadi.

“Kalau seseorang menghormati istrinya, tidak mungkin memukul. Yang memukul itu karena memandang istrinya tidak dihormati,” pungkasnya.

Obrolan selengkapnya, bisa disimak di sini:

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.