Sejarah yang Hilang, Pentingnya Pengarusutamaan Peran Ulama Perempuan

Tanpa keluhan, mereka menapaki tiap undakan, seolah membawa pesan kuat bahwa sejarah perempuan tak boleh lagi disembunyikan.
Ilustrasi ratusan nyai kompak menghadiri Deklarasi Kebangkitan Ulama Perempuan di Cirebon, pada Ahad, 18 Mei 2025. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Dari pelataran parkir, mereka menaiki ratusan anak tangga yang berkelok di antara makam-makam kuno dan rimbunnya pohon-pohon tua. Bukit kecil di Kompleks Makam Sunan Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat menjadi saksi langkah tegap para nyai dan ulama perempuan. Usia memang tak lagi muda, tetapi semangat mereka menyala. Tanpa keluhan, mereka menapaki tiap undakan, seolah membawa pesan kuat bahwa sejarah perempuan tak boleh lagi disembunyikan.

Ahad pagi, 18 Mei 2025, tempat ibadah kecil di ujung bukit bernama Masjid Puser Bumi itu berubah menjadi ruang refleksi kebangsaan. Di tengah semangat memperingati Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menggugah kesadaran kolektif. Mereka menegaskan, sejarah bangsa tidak bisa lagi ditulis tanpa suara perempuan. Terutama, suara para ulama perempuan yang selama ini kerap tersisih dari narasi arus utama.

Dengan mengusung tema “Kita Semua Punya Guru Perempuan, Saatnya Kita Bangkit Bersama”, KUPI tak sekadar merayakan peran, tapi juga menuntut keadilan dalam sejarah. Sebuah seruan yang semakin relevan ketika pemerintah tengah menyusun ulang narasi besar Indonesia menuju usia 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia (RI).

Baca: KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Jejak tersembunyi

Dalam momentum yang sakral itu, sejumlah tokoh nasional hadir. Salah satunya adalah Ny. Hj. Alissa Wahid, putri Presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid, yang merupakan anggota Dewan Pertimbangan KUPI.

Nyai Alissa, sapaan karibnya, menyoroti kurangnya transparansi dalam proyek penulisan ulang sejarah nasional yang sedang digarap pemerintah.

“Penginnya begitu (melibatkan banyak pihak). Tapi ternyata prosesnya masih terkesan tertutup, tidak melibatkan organisasi masyarakat secara umum,” ujarnya, saat ditemui Ikhbar.com usai acara.

Dewan Pertimbangan KUPI, Ny. Hj. Alissa Wahid, dalam Deklarasi Kebangkitan Ulama Perempuan di Cirebon, pada Ahad, 18 Mei 2025. Dok KUPI

Penulisan ulang sejarah yang dimaksud adalah proyek pemerintah yang dipimpin oleh Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Indonesia (UI), Prof. Susanto Zuhdi, yang diklaim melibatkan sekitar 100 sejarawan. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut, proyek tersebut akan mencetak buku sejarah resmi berisi narasi besar bangsa dari masa prasejarah hingga kontemporer. Targetnya, rampung sebelum 17 Agustus 2025, sebagai hadiah ulang tahun ke-80 RI.

Namun, langkah ini menuai kritik. Salah satunya karena tidak menyentuh organisasi keagamaan progresif, lebih-lebih komunitas ulama perempuan. Sejarah dinilai masih disusun oleh sudut pandang maskulin yang cenderung mengabaikan kontribusi perempuan.

Nyai Alissa memberi catatan penting. Ia mengingatkan bahwa ulama perempuan selalu hadir dalam sejarah bangsa, bahkan sejak sebelum nama “Indonesia” disepakati.

Ia mencontohkan kiprah Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) pada akhir 1960-an. Saat itu, para ibu merespons tingginya angka kematian ibu dan bayi. Mereka turun langsung menyuarakan pentingnya kelahiran aman. Tanpa inisiatif ini, krisis kesehatan ibu-anak bisa menjadi masalah nasional yang lebih parah.

Di bidang pendidikan, salah satu Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu menyebut Nyai Khoiriyah Hasyim Asy’ari sebagai pelopor pesantren perempuan. Ia membuka akses belajar bagi para santri putri. Jauh sebelumnya, Siti Aisyah We Tenriolle dari Bugis memperjuangkan hak perempuan melalui literasi dan pendidikan. Ada pula nama Nyai Siti Sarah dan Nyai R Djuaesih, tokoh penting dalam pembentukan Muslimat NU.

“Mari bayangkan Indonesia tanpa Siti Walidah Ahmad Dahlan di paruh pertama abad ke-20. Atau tanpa Nyai Sholichah Wahid Hasyim di paruh kedua abad itu,” ucap Nyai Alissa.

Jejak mereka ada. Tetapi kerap diabaikan. Mereka bukan pelengkap sejarah, melainkan pilar yang menopang peradaban.

Baca: KUPI: Gen Z Jangan Terjebak Sejarah Bias Gender

Kupipedia dan perlawanan terhadap bias sejarah

KUPI tak tinggal diam. Lewat inisiatif digital bernama Kupipedia, mereka menyusun ensiklopedia ulama perempuan dan tokoh laki-laki berpandangan adil gender. Sebuah upaya menyusun kembali sejarah dari akar.

“Di Kupipedia, kami menghimpun figur-figur yang berpandangan keadilan gender. Tapi itu baru sebagian kecil,” ujar Iklilah Muzayyanah Dini, Juru Bicara KUPI.

Ia mengajak masyarakat menyumbang nama-nama yang belum tercatat. Kupipedia, katanya, bisa menjadi referensi sejarah yang inklusif. Jika pemerintah ingin menulis sejarah yang representatif, platform ini layak diperhitungkan.

“Kami terbuka jika pemerintah ingin berdialog dengan KUPI. Tapi kalau tidak pun, kami berharap Kupipedia tetap jadi rujukan sejarah yang autentik,” tambahnya.

Melalui platform ini, KUPI ingin memastikan sejarah tak lagi mengulang bias patriarki. Narasi masa lalu harus ditata ulang dengan melibatkan lebih banyak suara, terutama suara perempuan yang selama ini ditekan oleh sistem dan struktur sosial.

Ratusan nyai dan ulama perempuan menghadiri Deklarasi Kebangkitan Ulama Perempuan di Cirebon, pada Ahad, 18 Mei 2025. Dok KUPI

Baca: Pentingnya Belajar Sejarah menurut Ibnu Khaldun hingga Arkoun

Menulis ulang sejarah atau cuma ubah istilah?

Penulisan ulang sejarah yang kini dilakukan pemerintah sejatinya membuka ruang refleksi. Tidak cukup hanya memperbarui data dan peristiwa. Lebih penting dari itu, sejarah harus ditata dengan cara pandang baru, yakni inklusif, adil, dan merepresentasikan seluruh elemen bangsa.

Menteri Fadli Zon memang menyatakan ingin mengganti narasi “350 tahun dijajah Belanda” dengan narasi “Perlawanan terhadap penjajah”. Tapi revisi semacam itu belum menyentuh akar. Tanpa mengakui kontribusi kelompok perempuan, sejarah tetap timpang.

Lewat pertemuan menggugah itu, KUPI menilai bahwa penulisan ulang sejarah semestinya juga membuka ruang pengakuan dan apresiasi. Tidak hanya pada aktor utama, tetapi juga pada mereka yang selama ini dibungkam oleh sejarah formal.

KUPI percaya, sejarah adalah ruang bersama. Ia tidak bisa ditulis dari satu perspektif. Dan tidak bisa terus dibungkam oleh narasi tunggal.

Dengan mengangkat kembali peran ulama perempuan, mereka menawarkan jalan baru. Jalan yang tidak menafikan masa lalu, tapi juga tidak menutup mata pada suara-suara yang selama ini tenggelam.

Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia bukan sekadar peringatan tahunan. Ia adalah gerakan melawan penghapusan. Sebuah ikhtiar untuk menulis ulang arah sejarah bangsa.

Sebab, seperti tema yang layak didorong sebagai bahan permenungan, bahwa “Kita semua punya guru perempuan.” Maka, sudah seharusnya sejarah ditulis bersama. Bukan oleh segelintir tangan, tapi oleh seluruh jiwa bangsa yang pernah berjuang, mencintai, dan membangun Indonesia, dalam sunyi maupun sorotan.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.