Assalamualaikum. Wr. Wb.
Kiai Ghufron dan Ikhbar.com. Saya Khoirul Anwar, dari Jakarta Selatan.
Izin bertanya. Saat ini sedang ramai berita tentang seorang pengusaha, Bapak Jusuf Hamka yang menagih utang ke Pemerintah Indonesia, yang konon belum dibayarkan sejak 1998 sebesar Rp800 miliar.
Sebenarnya, bagaimana fikih mengatur bab utang piutang? Terutama antara pribadi dengan badan/lembaga? Bagaimana jika pimpinan di lembaga tersebut sudah berganti, apakah pemimpin baru juga bertanggung jawab atas utang-utang tersebut? Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Jawaban:
Wa’alaikumsalam. Wr. Wb.
Terima kasih atas pertanyaannya, Bapak Khoirul Anwar.
Pimpinan dalam satu lembaga, termasuk pemerintahan memiliki tugas dan kewenangan untuk men-tasharuf-kan atau menggunakan jabatannya demi kemaslahatan masyarakat atau rakyat, dengan cara apapun. Termasuk dengan jalan berutang.
Nah, ketika demi kepentingan kemaslahatan tersebut kemudian dia berutang, maka utang itu bukan menjadi tanggung jawab pribadi, melainkan menjadi tanggungan negara yang nanti pelunasannya harus diambil dari baitul mal atau kas negara. Dan ini otomatis akan menjadi tanggung jawab siapa pun pemimpin baru yang menerima tongkat komando secara berkelanjutan atau berkesinambungan.
Baca: Ayat-ayat Antikorupsi
Pendapat ini tertuang dalam Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam Juz 2, halaman 194:
الصُّورَةُ الْخَامِسَةُ: أَنَّ الْإِمَامَ وَالْحَاكِمَ إذَا أَتْلَفَا شَيْئًا مِنْ النُّفُوسِ أَوْ الْأَمْوَالِ فِي تَصَرُّفِهِمَا لِلْمَصَالِحِ فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَى بَيْتِ الْمَالِ دُونَ الْحَاكِمِ وَالْإِمَامِ
“Seorang pemimpin dan hakim, apabila melakukakan tindakan pengerusakan jiwa atau menggunakan harta, yang dalam penggunaannya itu demi kemaslahatan umat atau rakyat, maka itu akan menjadi kewajiban dan tanggung jawab baitul mal, bukan tanggung jawab pribadi hakim atau pemimpin yang bersangkutan.”
Jadi, utang negara terhadap perorangan bukan menjadi tanggungan pribadi pemimpin saat itu, akan tetapi terus-menerus menjadi tanggungan setiap pemimpin berikutnya selama belum tertunaikan. Sedangkan pembayarannya dibolehkan diambil dari kas negara. Wallahu a’lam.
Penjawab: Kiai Ghufroni Masyhuda, Tim Ahli Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat dan Anggota Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cirebon.