Hukum Memilih ‘Jomblo’ dan Menunda Pernikahan bagi Perempuan

Ilustrasi perempuan berhijab merah. PIXABAY/valentinus ardo

Assalamualaikum. Wr. Wb.

Ning Uswah dan Ikhbar.com, perkenalkan saya Rini Febri Utami dari Bekasi, Jawa barat. Saya ingin bertanya, adakah batas maksimal bagi wanita untuk melajang menurut ketentuan fikih? bolehkah seorang perempuan lebih memprioritaskan pendidikan atau kariernya daripada menyegerakan menikah/berumah tangga? Lalu adakah nasihat-nasihat khusus dari ajaran Islam menyangkut hal ini? Terima kasih.

Wasssalamualaikum. Wr. Wb.

Baca:Halalkan Diriku’ Adalah Ungkapan Keliru

Jawaban:

Waalaikumsalam. Wr. Wb.

Kak Rini Febri Utami dari Bekasi, dasar hukum pernikahan adalah mubah atau boleh bagi orang-orang yang pada dasarnya memiliki dorongan untuk menikah dan pernikahan tersebut diyakini tidak akan mendatangkan kemadlaratan/bahaya bagi siapa pun. Namun, hukum menikah itu bisa saja berubah sesuai keadaan seseorang.

Para ulama telah memasukkan hukum menikah ke dalam beberapa kondisi. Pertama, dihukumi wajib apabila seseorang telah memiliki kemampuan baik secara mental atau finansial dan mempunyai nafsu biologis yang dikhawatirkan terjerumus dalam zina.

Kedua, sunah. Yakni bagi seseorang yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, tetapi tidak memiliki nafsu yang dikhawatirkan terjerumus dalam zina.

Ketiga, makruh. Hukum ini berlaku bagi seseorang tidak memiliki hasrat untuk menikah. Contohnya, menikah demi tidak lagi ditanyai “Kapan menikah?” yang akhirnya melakukan pernikahan tanpa mempertimbangkan kemampuan diri.

Keempat, haram. Yaitu bagi seseorang yang tidak memiliki nafkah dan meyakinkan pernikahan itu akan mendatangkan kezaliman.

Baca: Macam-macam Perkawinan Masa Jahiliyah, Keji dan Menjijikan

Akan tetapi, pertimbangan-pertimbangan yang memengaruhi hukum pernikahan itu tidak termasuk pada urgensi pendidikan dan pekerjaan/karier. Sebab, menempuh keduanya justru wajib dilakukan setiap Muslim baik laki-laki dan perempuan.

يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ ۚ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Bahkan, di tengah dorongan untuk membela agama Islam melalui sebuah peperangan pun, Allah lebih menganjurkan umat Islam untuk mencari ilmu. Dalam QS. At-Taubah: 122, Allah Swt berfirman:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Tidak sepatutnya bagi Mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

Sedangkan dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad Saw bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah).

Bekerja juga menjadi salah satu kewajiban kaum Muslim sebagai wujud rasa syukur telah diberikan kehidupan oleh Allah Swt.

وَقُلِ ٱعْمَلُوا۟ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُۥ وَٱلْمُؤْمِنُونَ

“Dan Katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.” (QS. At-Taubah: 105)

طَلَبُ الْحَلَا لِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.

“Mencari rezeki yang halal hukumnya wajib atas setiap orang Muslim.” (HR Thabrani).

طَلَبُ الْحَلالِ فَرِيضَةٌ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ

“Bekerja mencari yang halal itu suatu kewajiban sesudah kewajiban beribadah.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)

Jika dilihat dari dasar hukumnya, maka lebih ditekankan untuk mendahulukan sesuatu yang wajib daripada hukum yang mubah atau sunah.

Memilih untuk menikah sesuai kemampuan adalah hal yang mesti disiapkan dengan matang. Sebab pernikahan haruslah mendatangkan manfaat berupa sakinah, mawadah, serta rahmah bagi sepasang suami istri.

Sedangkan memilih untuk menunda pernikahan atau bahkan tidak menikah adalah bagian dari Al-Istiqlal al-Syakhsiy (Kemandirian untuk menentukan pilihan-pilihan pribadi) yang diyakini kebenarannya. Tidak ada batasan usia bagi laki-laki atau perempuan tentang untuk melajang sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa nabi dan juga para ulama laki-laki dan perempuan yang memutuskan untuk tidak menikah hingga akhir hayatnya. Contohnya adalah Nabi Isa dan Nabi Yahya yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai ‘hashur.’

اَنَّ اللّٰهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيٰى مُصَدِّقًاۢ بِكَلِمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ وَسَيِّدًا وَّحَصُوْرًا وَّنَبِيًّا مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ

“Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran) Yahya, yang membenarkan sebuah kalimat (firman) dari Allah, panutan, berkemampuan menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi di antara orang-orang saleh.” (QS. Ali Imran: 39).

Baca: 3 Cara Akad Nikah Pengantin Tuli dan Bisu

Sayyidah Maryam memilih untuk menjaga kehormatannya dengan fokus membaktikan dirinya kepada Allah Swt. Siti Maryam memilih berdiam diri di dalam mihrab sampai pada akhirnya Allah Swt menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya melalui kelahiran Nabi Isa As. Dalam QS. At-Tahrim: 12, Allah Swt berfirman:

وَمَرْيَمَ ٱبْنَتَ عِمْرَٰنَ ٱلَّتِىٓ أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا

“Dan (ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya.”

Jomlo tidak hanya menjadi pilihan para nabi dan ulama laki-laki, seperti Imam Abu Al-‘Ala al-Ma’ari, Abu al-Qasim Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari Al-Khawarizmi, Imam Nawawi, tokoh Salafi Ibnu Taimiyah, Jamaluddin Al-Afghani, Sayyid Quthb Ibrahim Husein Al-Syadzili, hingga sastrawan muslim Abbas Mahmud al-Aqqad. Tetapi single selamanya (baik yang belum menikah atau yang sudah pernah menikah lalu memilih tidak menikah hingga akhir hayatnya) juga banyak ditemui pada ulama perempuan, seperti Rabiah Al-Adawiyah, seorang Sufi yang memilih untuk tidak menikah selamanya karena hati, jiwa, dan raganya adalah milik Tuhannya. Khodijah binti Sahnun, ulama perempuan Tunisia yang lebih terpikat dengan kerja intelektual dan melakukan advokasi kemanusiaan.

Ada juga Jamilah al-Hamdaniyah, perempuan bangsawan nan dermawan yang tidak menikah karena fokus pada kegiatan sosial dan kemanusiaan. Seorang perempuan kutu buku Aisyah binti Ahmad tidak menikah karena ia asyik dengan kajian-kajiannya, tidak ada seorang pun di Andalusia yang mampu mengunggulinya dalam aspek pengetahuan, sastra dan puisi serta kefasihan tutur katanya.

Karimah Al-Marwaziyyah juga melajang hingga akhir hayatnya. Ia adalah seorang muhaddits (ahli hadis) yang hidup semasa dengan Imam Syafii, bahkan Imam Syafii adalah ulama yang paling sering berguru kepadanya. Nabawiyah Musa, seorang feminis Mesir yang memilih untuk tidak menikah.

Selain perempuan-perempuan di atas, dikutip juga kisah Laila binti Mahdi, kekasih Qais Al-Majnun yang kisahnya populer di seluruh dunia. sekalipun Laila menikah, tapi pada dasarnya dia masih perawan.

Banyak ulama yang memilih untuk jomlo hingga akhir hayat. Selain fokus bergelut dan mendedikasikan diri untuk ilmu pengetahuan dan agama, ada beragam alasan yang menjadikan mereka enggan untuk menikah. Bukan sekadar “menikah adalah sunah,” lebih dari itu, para ulama memiliki segudang pemikiran dan karya yang cemerlang dalam perjalanan kehidupan mereka.

Namun, kemandirian dalam menentukan pilihan untuk menikah atau tidak, haruslah diimbangi dengan semangat untuk menjalankan perintah Allah Swt dalam bersosial berupa menghargai tubuh sendiri dan tubuh orang lain serta menjauhi larangan-Nya berupa tidak melecehkan tubuh sendiri dan orang lain sebagaimana yang difirmankan Allah Swt.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)

Wallahu a’lam bi as-shawab

Wassalamualaikum. Wr. Wb

Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), serta Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.

Bagi pembaca Ikhbar.com yang memiliki pertanyaan seputar fikih ibadah maupun muamalah, hukum waris Islam, keuangan dan ekonomi syariah, tata kelola zakat, dan sejenisnya, bisa dilayangkan melalui email redaksi@ikhbar.com dengan judul “Konsultasi.”

Setiap as’ilah atau pertanyaan yang masuk, akan dibedah melalui tim maupun tokoh-tokoh yang cakap di bidangnya dengan sumber-sumber rujukan valid dalam literatur keislaman.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.