Ikhbar.com: Menikah bukan semata-mata urusan seksual. Sayangnya, masih ada banyak pihak yang secara sadar maupun tidak mendefinisikan pernikahan hanya sebagai proses menghalalkan sesuatu yang sebelumnya dihukumi haram. Yakni, menyangkut segala aktivitas seksual di dalamnya.
Demikian disampaikan Anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), KH Faqihuddin Abdul Kodir, saat menjadi narasumber dalam Hiwar Ikhbar bertema “Mengarifi Argumentasi Childfree” di akun Instagram @ikhbarcom pada Ahad, 19 Februari 2023.
“Makanya, ungkapan ‘halalkan diriku’ itu salah. Berarti orientasi menikah hanya menghalalkan sesuatu yang sebelumnya haram. Dalam hal ini, kegiatan seksual. Padahal, makna nikah jauh lebih luas dari itu,” kata Kiai Faqih.
Menurut Kiai Faqih, pendefinisian menikah secara dangkal itulah yang mungkin saja mendorong terjadinya penurunan angka kelahiran di sejumlah negara, salah satunya, Jepang.
“Sebab, bisa jadi mereka beranggapan, kalau kebutuhannya cuma seks, mengapa harus repot-repot menikah? Bisa saja cukup dengan boneka seks karena lebih terbebas dari tanggung jawab,” kata dia.
Bank Dunia melaporkan, telah terjadi penurunan angka kelahiran di Negeri Sakura itu hingga di bawah 800 ribu pada 2022. Hal inilah, lanjut Kiai Faqih, yang kemudian menjadi dalih dan kekhawatiran bagi kelompok penentang childfree atau komitmen suami-istri tanpa keturunan/anak.
“Makanya, jika childfree itu merupakan pilihan individu, tanpa paksaan, dan tidak memaksakan atau diorganisir secara masif, ya, boleh-boleh saja,” kata Kiai Faqih.
Oleh karena itu, Kiai Faqih mengajak untuk mengembalikan pernikahan ke pemaknaan yang lebih luhur. “Yakni sebagai ruang berelasi secara manusiawi, juga untuk mengembangkan kualitas diri, saling menguatkan, juga membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah,” ujar dia.
Menurut Kiai Faqih, demi mengurangi kekhawatiran itu, tiap-tiap orang mempunyai kewajiban untuk mempromosikan bangunan rumah tangga yang ideal dan saling menguatkan.
“Akibat banyaknya relasi rumah tangga yang bermasalah, wajar jika muncul kelompok orang yang takut menikah. Karena banyaknya problem dalam hal pengasuhan anak, maka pantas-pantas saja muncul istilah childfree,” kata penulis buku Qiraah Mubadalah (2021) itu.