Hukum Khitan bagi Perempuan

Ilustrasi kelahiran anak perempuan. UNSPLASH/Mufid Majnun

Assalamualaikum. Wr. Wb.

Ning Uswah dan Ikhbar.com, saya Siti Halimah dari Tangerang, Banten. Saya ingin bertanya, seperti apa sebenarnya Islam menghukumi khitan bagi wanita? Apakah memang wajib seperti yang diyakini dan biasa dilakukan orang-orang zaman dulu? Terima kasih.

Wassalamualaikum. Wr. Wb

Jawaban:

Waalaikumsalam. Wr. Wb.

Kak Siti Halimah, dari Tangerang. Khitan merupakan tradisi kuno yang telah hadir sebelum Nabi Muhammad Saw lahir. Tradisi lampau ini biasa disebut dengan istilah “al-atsar al-qadimah,” atau warisan tradisi klasik. Allah Swt berfirman:

ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

“Kemudian, Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), ‘Ikutilah millah (agama) Ibrahim sebagai (sosok) yang hanif dan tidak termasuk orang-orang musyrik.” (QS. An-Nahl: 123).

Menurut sebagian ahli tafsir, kalimat “millah Ibrahim” dimaknai sebagai ”khitan.” Hal ini merujuk pada sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi Ibrahim berkhitan pada usia 80 tahun.

Tradisi khitan ini berkembang di seluruh dunia. Namun, bagaimana dengan khitan perempuan? Para ahli fikih sepakat bahwa sunat pada laki-laki dan perempuan merupakan tradisi yang telah berlangsung dalam masyarakat kuno untuk kurun waktu yang sangat panjang, yakni telah berlangsung lebih dari 2.000 tahun.

Ulama mazhab Hanafi, Ibnu Abidin menyebut khitan bagi perempuan sebagai khifad.

لاَ يُقَالُ فِى حَقِّ الْمَرْأَةِ خِتَانُ وَإِنَّمَا يُقَالُ خِفَاضٌ

“Untuk perempuan tidak boleh disebut khitan, melainkan khifad.”

Khifad berarti mengurangi, menyederhanakan, atau mengambil sedikit dan pelan. Sedangkan Imam Al-Mawardi mendefinisikan khitan perempuan sebagai “pemotongan kulit yang berada di bagian atas kemaluan perempuan, di atas pintu masuknya penis, semacam biji atau jengger ayam jago.”

Praktik khitan perempuan berbeda di penjuru dunia. Di Nusantara, praktik sunat tersebut ada yang berupa simbolik (tanpa adanya pelukaan) dan adanya pelukaan atau kini disebut pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan (P2GP). Yang akan kita ulas adalah khitan perempuan dengan pelukaan atau P2GP.

Syekh Wahbah al-Zuhaili, faqih kontemporer terkemuka dari Syiria meringkas tiga pandangan tentang khitan:

Pertama, khitan bagi laki-laki, yakni memotong kulit yang menutupi ujung penis, menurut pandangan mayoritas ulama Mazhab Hanafi dan Maliki adalah Sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Sedangkan khifad adalah makrumah (suatu kehormatan). Praktiknya, dengan menggores sedikit kulit bagian atas pada vagina perempuan dan disunnahkan tidak berlebihan. Kedua, para ulama dari Mazhab Syafi’i berpendapat khitan adalah wajib baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sementara, ketiga, Imam Ahmad berpendapat bahwa khitan adalah kewajiban bagi laki-laki dan suatu kehormatan bagi perempuan. Hal itu, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis:

اَلْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ

“Khitan adalah sunah bagi laki-laki dan kehormatan bagi perempuan.” (HR. Ahmad).

Yang dimaksud “makrumah” atau kehormatan bagi perempuan adalah bahwa ia merupakan sesuatu (praktik) yang dianggap baik menurut tradisi masyarakat. Namun, seiring berjalannya waktu, khitan perempuan menjadi praktik yang menimbulkan madlarat (bahaya) berganda atas tubuh dan psikologi perempuan.

Baca: Jangan Salah Pilih! Ini 3 Situs Rujukan Berbasis Keadilan Gender

Menteri Wakaf Mesir, Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq dan Ahli Kesehatan Reproduksi dari Universitas Al Azhar, Kairo, Dr. Raja Muhammad menegaskan bahwa Khitan bagi perempuan sama sekali tidak memiliki manfaat bagi kesehatan. Tidak pula ada kondisi emergensi yang mengharuskan seorang perempuan pergi ke dokter untuk menjalani khitan.

Sementara itu, Ketua Dewan Fatwa Mesir, Dr. Ali Gom’ah telah memutuskan bahwa khitan perempuan adalah haram. Fatwa ini dikeluarkan menyusul kematian anak perempuan Budur Ahmad Syakir, setelah dikhitan seorang dokter perempuan. Keputusan ini didukung oleh Grand Syekh Universitas Al-Azhar, Kairo, Syekh Sayyed Thantawi.

Dalam kaidah fikih dijelaskan:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.”

الضرر لا يزال بالضرر

“Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya.”

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil kebaikan.”

Baca: Daftar Negara Mayoritas Muslim Paling Ramah Perempuan, Indonesia Urutan Berapa?

Justru, pendapat para ahli medis dan ahli ilmu tentang khitan perempuan ini harus menjadi perhatian pemerintah sehingga dibuatkan Undang-Undang (UU) yang melarang praktik tersebut. Tujuannya, agar jumlah korban dari praktik khitan perempuan bisa dikendalikan. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih:

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

“Tanggung jawab pemerintah terhadap rakyatnya adalah menjamin kemaslahatan mereka.”

Imam As-Syaukani bahkan menegaskan praktik khitan hanya untuk laki-laki, bukan perempuan. Sedangkan Ibnu Mundzir dalam Ibn Hajar Al-Asqalani, Talkhis al-Kabir, Madinah al-Munawwarah, Juz IV, hlm. 83, mengatakan:

ليس فى الختان خبر يرجع إليه، ولا سند يتبع

“Khitan bagi perempuan tidak memiliki dasar yang kuat dan sanadnya lemah.”

Muhammad Syaltut, dalam Al-Fatawa; Dirasatan li Musykilati al-Muslim al-Mu’ashir fi Hayatihi al-Yaumiyah wa al-‘Ammah, 334 menyatakan bahwa tidak ada alasan bagi khitan perempuan baik secara medis, akhlak, maupun syar’iat.

أن ختان الأنثى ليس لدينا م يدعو إليه و إلى تحتمه لا شرعا ولا خلقا ولا طبا

“Tidak ada alasan untuk melakukan khitan bagi perempuan baik secara legal agama, akhlak, dan medis”

Syekh Yusuf al-Qaradawi, Hady al-Islam: Fatawa al Muashirah, dar al Qalam: Kuwait, 1987, menegaskan:

لم نص من الشارع بإيجابه ولا إستحبابه

“Tidak ada nash/dalil syar’i dalam pelegalan atau pembolehan khitan perempuan.”

Sedangkan Ahmad Ali Muwafi, dalam Khitan al-Banat Bayna al-Masyru’iyyah wa al-Hathr, 64, menuliskan:

لم يعلم عنه صلى الله عليه وسلم أنه ختن بناته رضي الله عنهن، ولا نقل عنه أحد من أهل العلم قاطبة، فإن ختان البنات لم يكن مشتهرا في قريش، وهذا بخلاف أهل المدينة من الأنصار (الدكتور أحمد علي موافي، ختان البنات بين المشروعية والحظر، ص 64:)

“Tidak ada riwayat yang diketahui bahwa Rasulullah mengkhitan putri-putrinya, juga tidak ada satu pun riwayat yang menyampaikan kabar bahwa Nabi mengkhitan putri-putrinya. Sebab, khitan perempuan bukanlah tradisi orang-orang Quraisy, tetapi berbeda dengan orang-orang Madinah di kalangan Anshar.”

Dari beberapa pendapat dan pandangan ulama terdahulu dan sekarang, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khitan pada perempuan dengan pelukaan tidak direkomendasikan karena termasuk tindakan membahayakan. Khitan perempuan boleh dilakukan apabila ada maslahat yang pasti, sementara khitan perempuan dengan pelukaan tidak memberikan maslahat bahkan mendatangkan mudarat bagi perempuan. Wallahu a’lam bis shawab.

Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), serta Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.

Bagi pembaca Ikhbar.com yang memiliki pertanyaan seputar fikih ibadah maupun muamalah, hukum waris Islam, keuangan dan ekonomi syariah, tata kelola zakat, dan sejenisnya, bisa dilayangkan melalui email redaksi@ikhbar.com dengan judul “Konsultasi.”

Setiap as’ilah atau pertanyaan yang masuk, akan dibedah melalui tim maupun tokoh-tokoh yang cakap di bidangnya dengan sumber-sumber rujukan valid dalam literatur keislaman.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.