Ikhbar.com: PT. Jasa Marga memprediksi sebanyak 771.144 kendaraan meninggalkan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) selama periode libur Hari Raya Imlek atau sejak Jumat, 20 Januari hingga Selasa, 24 Januari 2023.
Perkiraan angka itu bersifat kumulatif arus lalu lintas (lalin) dari empat Gerbang Tol Utama. Di antaranya GT Cikupa (ke arah Merak); GT Ciawi (ke arah Puncak); GT Cikampek Utama (ke arah Trans Jawa); dan GT Kalihurip Utama (ke arah Bandung).
“Total volume lalin yang meninggalkan wilayah Jabotabek ini naik 12,12 persen jika dibandingkan lalin normal,” kata Corporate Communication & Community Development Group Head Jasa Marga Lisye Octaviana, Sabtu, 21 Januari 2023.
Perayaan imlek kali ini juga dipastikan lebih meriah ketimbang tahun-tahun sebelumnya yang masih dibarengi aturan ketat pencegahan penularan Covid-19. Tiap-tiap kelenteng dan wihara telah bersolek sejak jauh hari guna menyambut kemeriahan tahun baru China hingga ditutup dengan perayaan Cap Go Meh pada dua pekan setelahnya.
Pemerhati kebudayaan Tionghoa, Jeremy Huang menjelaskan, imlek merupakan sarana untuk saling merekatkan kekerabatan antarkeluarga. Selain itu, imlek juga dirayakan atas dasar membangun keharmonisan hubungan antarmanusia dalam kehidupan dunia.
“Makanya dalam imlek kita sering menjumpai makanan yang disebut dodol keranjang. Dodol yang berbahan kental dan lengket itu bermakna merekatkan. Sementara rasa manisnya diharapkan mampu menambah rasa harmonis dalam hubungan kekerabatan,” kata Jeremy.
Selain dodol keranjang, perayaan imlek juga identik dengan kemeriahan pentas barongsai dan aneka motif lampion. Kekayaan budaya khas Tionghoa ini mestinya tetap dipelihara dan dipertahankan oleh generasi yang akan datang.
“Sayangnya, tidak banyak dari generasi muda Tionghoa yang meneruskan kekayaan budaya dan tradisi ini. Bisa dibayangkan, pemain barongsai saja kini 70 sampai 80 persen berasal dari non-Tionghoa,” kata dia.
Di sisi lain, tradisi dan budaya Tionghoa yang mulai banyak diperankan banyak orang di lintas etnis ini merupakan sebuah keunggulan. Kata Jeremy, hal ini menunjukkan masyarakat Tionghoa sudah berbaur dan diterima banyak orang.
“Ini jasa dari Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid) yang telah menjadikan imlek sebagai salah satu hari nasional, dulu, kita terkesan dikucilkan dan sangat sulit untuk berbaur seperti sekarang,” kata Jeremy.
Tahun baru imlek sempat dilarang dirayakan di tempat umum selama periode 1968 hingga 1999. Larangan itu diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 yang dibuat oleh Presiden Soeharto di era Orde Baru. Hingga sekarang, masih belum jelas alasan dibalik larangan tersebut.
Larangan perayaan imlek mengekang masyarakat Tionghoa selama 32 tahun hingga aturan itu dicabut Gus Dur ketika menjabat sebagai Presiden RI. Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 dan menerbitkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000. Keppres ini menjadi awal bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia mendapatkan kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, serta adat istiadat mereka, termasuk upacara keagamaan seperti imlek secara terbuka.
Pada 2001, Gus Dur menindaklanjuti keputusannya dengan menetapkan imlek sebagai hari libur fakultatif yang berlaku hanya bagi mereka yang merayakannya. Hal ini diatur dalam Keputusan Nomor 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Pada 2003, Hari Raya Imlek yang jatuh pada tanggal 1 Februari setiap tahunnya ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Berkat perannya dalam mempromosikan pluralisme di Indonesia, khususnya menyangkut orang Tionghoa, Gus Dur mendapatkan julukan sebagai Bapak Tionghoa. Julukan ini diberikan oleh masyarakat Semarang bertepatan dengan hari Cap Go Meh di Klenteng Tay Kek Sie pada 10 Maret 2004 silam.