Ikhbar.com: Islam tidak hanya hadir sebagai pedoman laku ibadah manusia. Lebih dari itu, Islam menyajikan panduan secara menyeluruh agar manusia bisa hidup dengan baik di dunia. Termasuk, dalam hal makanan dan minuman yang merupakan kebutuhan dasar sehari-hari.
Allah Swt menekankan manusia agar secara serius memperhatikan kualitas makanan yang dikonsumsi.
فَلْيَنْظُرِ الْاِنْسَانُ اِلٰى طَعَامِهٖٓ ۙ
“Maka, hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.” (QS.’Abasa: 24).
Syekh Wahbah Zuhaili dalam Al-Wajiz menjelaskan bahwa ayat tersebut mendorong manusia untuk berpikir dan introspeksi tentang betapa Allah telah menyediakan berbagai makanan sebagai bekal kelangsungan hidup manusia.
Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr Al-Anshari Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan;
لَمّا ذَكَرَ جَلَّ ثَناؤُهُ ابْتِداءَ خَلْقِ الإنْسانِ ذَكَرَ ما يَسَّرَ مِن رِزْقِهِ، أيْ فَلْيَنْظُرْ كَيْفَ خَلَقَ اللَّهُ طَعامَهُ. وهَذا النَّظَرُ نَظَرُ القَلْبِ بِالفِكْرِ، أيْ لِيَتَدَبَّرْ كَيْفَ خَلَقَ اللَّهُ طَعامَهُ الَّذِي هُوَ قِوامُ حَياتِهِ، وكَيْفَ هَيَّأ لَهُ أسْبابَ المَعاشِ، لِيَسْتَعِدَّ بِها لِلْمَعادِ
“Ketika Allah Swt memulai penciptaan manusia, Dia menyebutkan rezeki yang mengiringinya. Maksudnya, hendaknya manusia memikirkan bagaimana Allah memberikan rezeki kepadanya. Berpikir dalam ayat ini adalah merenung dalam hati agar dia bisa berpikir jernih bagaimana Allah memberi anugerah berupa makanan kepadanya sebagai sumber kehidupan dan bagaimana Allah menganugerahi pekerjaan yang menghasilkan rezeki sehingga dia terbantu untuk beribadah.”
Allah Swt berfirman:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raf: 157).
Dalam salah satu hadis disebutkan:
إِنَّ الحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِيْ الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ. أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَىً. أَلا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلاَ وإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهيَ اْلقَلْبُ.
”Sesungguhnya perkara yang halal itu telah jelas dan perkara yang haram itu telah jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang (samar), tidak diketahui oleh mayoritas manusia. Barang siapa yang menjaga diri dari perkara-perkara samar tersebut, maka dia telah menjaga kesucian agama dan kehormatannya. Barang siapa terjatuh ke dalam perkara syubhat, maka dia telah terjatuh kepada perkara haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah larangan (hima), dikhawatirkan dia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah, bahwa setiap raja itu memiliki area terlarang, ketahuilah bahwa area terlarang milik Allah adalah segala yang Allah haramkan. Ketahuilah bahwa dalam tubuh manusia terdapat sepotong daging. Apabila daging tersebut baik maka baik pula seluruh tubuhnya dan apabila daging tersebut rusak maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah segumpal daging tersebut adalah hati. (HR. Bukhari dan Muslim).
Islam menekankan agar manusia memastikan makanan yang hendak dikonsumsinya bersetatus halal dan tayib (baik).
Halal, dalam kamus Mu’jam Al-Wasith didefinisikan sebagai barang yang tidak haram dan tidak dilarang agama untuk dikonsumsi. Keharaman itu bisa dibagi menjadi dua aspek. Pertama, haram secara zat atau secara materi telah dinyatakan haram oleh syariat, seperti babi, bangkai, dan darah. Kedua, haram bukan secara zatnya, tapi bisa dari cara membeli, memperoleh, atau mengolah barang tersebut.
Sedang makna tayib, menurut Syekh Ar-Raghib al-Isfahani dalam Mu’jam Mufradat li Alfadhil Qur’an, berarti sesuatu yang dirasakan enak oleh indra dan jiwa.
Salah satu ayat yang menyebutkan halalan tayiban adalah QS. Al-Baqarah: 168;
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَات الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kalian.”
Makna ‘baik’ dari lafal tayib masih diperdebatkan oleh ulama. sejumlah ulama, khususnya kalangan ahli tafsir, berbeda pendapat. Beberapa tafsir menyatakan dari perspektif kebahasaan, bahwa kata tayib adalah halal itu sendiri. Jadi keharusan konsumsi makanan halal dikuatkan kembali dengan kata tayiban setelahnya.
Selain itu, Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam Jami’ Al Bayan fi Ta’wil Ay al Qur’an menyebutkan bahwa maksud kata tayiban adalah suci, tidak najis, dan tidak haram.
Sementara menurut Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al ‘Adhim menyatakan;
مستطابا في نفسه غير ضار للأبدان ولا للعقول
“Sesuatu yang baik, tidak membahayakan tubuh dan pikiran.”
Sedangkan Imam Al-Qurthubi, dalam tafsirnya Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an memaparkan bahwa kata halalan merupakan objek (maf’ul) dan kata tayiban merupakan penjelas (hal) dari objek tersebut. Jadi status halal diperlukan karena ia inhilal (membebaskan) dari larangan yang ada untuk mengonsumsi sesuatu.
Dalam Kriteria Halal -Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut Al-Qur’an dan Hadits, KH. Ali Mustafa Yaqub menjelaskan bahwa pemaknaan produk yang tayib dalam Al-Qur’an adalah, pertama, tayib semakna dengan halal – ia mesti tidak diharamkan oleh nash, suci secara substantif, serta tidak najis. Kedua, produk tidak membahayakan tubuh, akal, maupun jiwa saat dikonsumsi, sebagaimana pendapat Imam Ibnu Katsir. Ketiga, makanan atau minuman tersebut dinilai enak dan layak konsumsi.