Ikhbar.com: Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menetapkan awal Ramadan tahun ini jatuh pada Kamis, 23 Maret 2023.
Penetapan 1 Ramadan 1444 H itu berdasarkan hasil hisab yang diumumkan melalui keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
“Umur bulan Syakban 1444 H 30 hari dan tanggal 1 Ramadan 1444 H jatuh pada hari Kamis Pon, 23 Maret 2023 M,” bunyi putusan hasil hisab Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah pada Selasa, 31 Januari 2023.
Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang dijadikan acuan masyarakat Indonesia dalam menentukan penanggalan momentum penting, seperti penetapan 1 Ramadan, hari raya Idulfitri, Iduladha, dan sebagainya. Sementara sebagian besar lainnya mengacu pada putusan yang diterbitkan oleh Nahdlatul Ulama (NU).
Ada perbedaan metodologi yang dipakai Muhammadiyah dan NU dalam menetapkan awal bulan-bulan besar kalender hijriyah tersebut. Hal inilah yang menyebabkan ikhbar (pengabaran) Muhammadiyah lebih cepat atau secara jauh-jauh hari ketimbang NU.
Ahmad Izzuddin dalam Fiqih Hisab Rukyah (2007) menjelaskan dua perbedaan metodologi tersebut. Menurutnya, dalam menentukan tanggal-tanggal yang dianggap penting, NU menjadikan rukyat al hilal atau istikmal sebagai acuan. Metode ini dilakukan dengan cara mengamati visibilitas hilal (newmoon).
Sementara Muhammadiyah melalui Majelis Tarjihnya menggunakan metode wujud al hilal atau hisab. Pendekatan tersebut menetapkan jatuhnya awal bulan dengan menghitung posisi bumi terhadap matahari dan bulan secara matematis dan astronomis.
“Dalam wacana fikih hisab rukyat di Indonesia, NU secara institusi dianggap sebagai simbol mazhab rukyah, sedangkan Muhammadiyah mazhab hisab,” tulis Izzuddin.
Perbedaan tersebut juga dijelaskan Susiknan Azhari dalam Ensiklopedi Hisab Rukyat (2005). Namun, keputusan dari hasil penggunaan dua metodologi itu selalu disampaikan kepada publik.
“Hampir setiap organisasi masyarakat, termasuk NU dan Muhammadiyyah selalu mengeluarkan ketetapannya walaupun dalam kemasan bahasa yang lain, seperti fatwa dan ikhbar,” tulis dia.
Meski begitu, NU dan Muhammadiyah tidak pernah saling memaksakan. Keduanya sama-sama hanya meyakini setiap metode yang mereka tempuh.
Prinsip ini, oleh NU dicantumkan dalam Keputusan Munas Ulama 18-21 Desember 1983 di Situbondo, Jawa Timur.
“Hisab untuk menetapkan awal Ramadan hanya boleh bagi ahli hisab itu sendiri dan orang-orang yang memercayainya,” bunyi keputusan tersebut.
Perbedaan itu kemudian diorkestrasi oleh pemerintah melalui pelaksanaan sidang isbat penentuan awal bulan hijriyah, terutama 1 Ramadan dan 1 Syawal yang dilaksanakan satu hari sebelumnya.
Sidang isbat sudah diberlakukan seiring dibentuknya Departemen Agama (Kemenag) pada 3 Januari 1946. Tanggung jawab Kemenag ini kemudian diperkuat dengan penerbitan PP Tahun 1946 No.2/Um.7/Um.9/Um.
Majelis isbat mencakup keterwakilan pemerintah, tokoh Islam, ahli astronomi dan utusan berbagai ormas Islam. Baru pada 2013, perwakilan negara-negara sahabat turut dihadirkan sebagai saksi.
Awalnya, sidang isbat dilakukan sederhana. Pada 1950, proses itu cuma didasarkan fatwa ulama tentang hak dan tanggung jawab negara dalam penentuan hari-hari besar.
Untuk menyempurnakan kegiatan, pada 1972 Kemenag membentuk Badan Hisab Rukyat (BHR) sebagai penanggung jawab sekaligus penyelenggara.
Sidang isbat adalah bagian dari ikhtiar pemerintah sebagai penengah. Beberapa tahun lalu, muncul wacana penyatuan dua metode ini melalui istilah imkan ar rukyat. Namun, rupanya gagasan itu belum bisa diterapkan secara total.