Ikhbar.com: Bahasa menunjukkan bangsa, begitu pepatah lama menyebutkan. Tampaknya, pemahaman fasih ini diserap total penduduk Jerman. Berbeda dengan Indonesia yang cenderung mengacungkan jempol kepada yang mahir berbahasa asing, di Negeri Panzer, mereka justru tidak banyak memberi kesempatan bagi siapa pun untuk berkomunikasi ala Jermanik.
Ketua Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Jerman, Ustazah Nur Yuchanna menyebut, bahkan penduduk Jerman tidak memberikan toleransi dalam berkomunikasi. Sekali pun orang yang dihadapinya adalah warga negara asing yang hanya bisa berbahasa Inggris.
“Mereka sangat nasionalis. Meski mungkin sekarang sudah banyak yang berbahasa Inggris seiring makin banyaknya student (pelajar). Tapi, katakanlah, sebanyak 80 persen generasi tuanya tidak berbahasa Inggris,” kata Yoan, sapaan akrabnya, dalam program Hiwar Ikhbar bertema “Membincang Ramadan di Jerman,” Jumat, 14 April 2023.
Gaya berkomunikasi warga Jerman, lanjut Ustazah Yoan, memang terkesan memaksa orang lain untuk menggunakan bahasa nasional mereka. Ustazah Yoan menceritakan pengalaman kedua orang tuanya saat pertama kali datang ke negeri itu dan hanya bermodalkan bahasa Inggris.
“Ya, meskipun terbata-bata, mereka saklek, Mama dan Papa saya harus menggunakan bahasa Jerman,” katanya.
Di sisi lain, kebanggaan terhadap bahasa nasional itu membuat warga Jerman terkesan kurang menghargai warga asing. “Bahkan, sampai pada fase mereka berteriak-teriak, kalau sedang berdialog dengan turis yang tidak menggunakan bahasa mereka,” katanya.
Belum lagi, bahasa Jerman bukanlah media komunikasi yang bisa dianggap mudah. Mengutip CNN International, bahasa Jerman masuk dalam urutan bahasa tersulit untuk dipelajari hingga membutuhkan sekitar 750 jam tanpa putus untuk mempelajarinya.
“Saya datang ke sini juga tidak bisa bahasa Jerman sama sekali. Baru kemudian belajar selama kurang lebih 1,5 tahun. Itu pun belum tergolong fasih,” kata Ustazah Yoan.
Tingkat kesulitan bahasa Jerman terpengaruh dari adanya perbedaan kata benda yang maskulin, feminin, dan netral. Selain itu, tata bahasanya.
Perbedaan kultur juga membuat banyak kalimat atau perumpamaan yang tidak memiliki arti dalam bahasa Indonesia. Dalam bentuk lampau ada kata kerja yang letaknya di akhir kalimat.
Namun, kata Ustazah Yoan, pelafalan dan pengejaannya masih cukup mudah.
“Intinya saya butuh satu setengah tahun untuk bisa bercakap dengan mereka,” kata Ustazah Yoan.