Ikhbar.com: Sebagian besar Muslim meyakini bulan Syawal sebagai waktu yang penuh keberkahan untuk melangsungkan pernikahan. Hal itu, merujuk pada hadis yang diriwayatkan Siti Aisyah tentang pernikahannya dengan Nabi Muhammad Saw:
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ فِي شَوَّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي؟ قَالَ: ((وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ))
“Rasulullah Saw menikahiku di bulan Syawal dan juga membangun rumah tangga denganku pada bulan Syawal. Maka istri-istri Rasulullah yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?” (Perawi) berkata, ‘Aisyah r.a dahulu suka menikahkan para perempuan di bulan Syawal.” (HR. Muslim).
Demikian dijelaskan Pengasuh Pondok Pesantren KHAS Kempek Putri, Cirebon, Jawa Barat, Ny. Hj. Tho’atillah Ja’far. Nyai Tho’ah, sapaan akrabnya, menyebut tidak ada keterangan secara spesifik bahwa Islam memerintahkan umatnya menikah di bulan-bulan tertentu.
Menurut Nyai Tho’ah, keterangan mengenai waktu berkah untuk melangsungkan akad nikah memang ada, akan tetapi lebih dalam cakupan hari dan jam.
“Para ulama Mazhab Syafii, Maliki, dan Hanbali menganjurkan agar akad nikah dilangsungkan pada hari Jumat. Ulama Syafii menyarankan di pagi hari, sementara Hanbali di sore hari,” kata Nyai Tho’ah.
Yang jauh lebih penting, terang Nyai Tho’ah, agar tiap-tiap calon pengantin tidak melupakan tujuan utama pernikahan.
“Pernikahan disyariatkan untuk memberikan ketenangan satu dengan lainnya,” ujar Nyai Tho’ah.
Dalam pernikahan, menurut sosok yang juga aktif dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) itu, terdapat perjanjian yang kokoh atau mitsaqan ghaliza.
“Pernikahan merupakan perjanjian yang kokoh, karena perjanjian itu dilakukan oleh kedua calon pasangan dengan Allah Swt,” katanya.
Menurut Nyai Tho’ah, sebuah pernikahan harus diisi semangat saling mengisi, memperbaiki, dan menyayangi, bukan saling membenci, apalagi mendiskriminasi.
“Suami-istri harus memiliki prinsip kesalingan, terbuka, dan saling memahami. Itulah teladan yang juga diajarkan Rasululullah Muhammad Saw,” katanya.
Bahkan, terang Nyai Tho’ah, Rasululullah Saw tak segan mengisi hari-harinya untuk membantu pekerjaan rumah tangga dengan prinsip kebersamaan yang kuat. Hal itu, sesuai dengan riwayat Siti Aisyah r.a:
كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ
“Rasulullah Saw dalam kesibukan membantu istrinya, dan jika tiba waktu salat, maka beliau pun pergi salat” (HR Bukhari).
Redaksi hadis lainnya:
الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ قَالَتْ مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ
“Urwah bertanya kepada Aisyah, ‘Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah jika ia bersamamu (di rumahmu)?’ Aisyah menjawab, ‘Beliau melakukan (seperti) apa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, beliau memperbaiki sandalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember” (HR Ibnu Hibban).