Ikhbar.com: Bangsa Arab adalah pabrik sekaligus pasar sastra. Orang-orang Arab telah lama menganggap bahasa mereka sebagai instrumen presisi, kejernihan, dan kefasihan yang sempurna.
Nyaris segala hal diungkapkan masyarakat Arab lewat bahasa yang luhur. Sastra Arab, baik di masa Jahiliyah, Islam, dan setelahnya, kerap dimanfaatkan sebagai penanda kelas sosial, kedigdayaan suku, hingga paket puji-pujian untuk para pimpinan yang dianggap telah menorehkan banyak peran.
Beragam kisah menarik pun muncul mengiringi kecanggihan berpuisi para penyair Arab. Ialah Muhammad bin Sa’id bin Himad bin Abdullah Ash-Shanhaji atau yang masyhur disapa Al-Bushiri, salah satu sastrawan asal Mesir, yang mendapatkan anugerah luar biasa akibat kedalaman puisi yang dikarangnya. Tidak tanggung-tanggung, apresiasi itu datang dari Rasulullah Muhammad Saw.
Kisah unik yang dialami Imam Al-Bushiri diceritakan KH Idris Sholeh, pengasuh Griya Ngaji Halimatus Sa’diyah (GNHS). Menurutnya, Al-Bushiri berhasil melahirkan karya terbaiknya justru ketika penyair yang hidup di tahun 600-an Hijriah itu menderita penyakit stroke.
“Al-Bushiri menulis kasidah itu dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt dan memohon agar diberikan kesembuhan,” kata Kiai Idris, dikutip dari saluran YouTube, GNHS Center, pada Ahad, 12 Maret 2023.
Al-Bushiri menuliskan syair-syair indah yang berisi pujian untuk Nabi Muhammad Saw. Puisi-puisi itulah, kelak dinamai dengan sebutan Kasidah Burdah.
“Penamaan ‘Burdah’ berawal dari mimpi Al-Bushiri yang bermimpi bertemu Nabi. Di dalam mimpinya itu, Rasulullah memuji-muji karya Al-Bushiri,” jelas Kiai Idris.
Baca: Resesi Ekonomi Pertemukan Nabi dengan Khadijah
Kiai Idris melanjutkan, di dalam mimpi Al-Bushiri tersebut, pada mulanya Nabi meminta murid dari salah satu wali qutb, Syekh Abul ‘Abbas Al-Mursi itu membacakan salah satu bait syair yang telah ia tulis.
“Bait yang mana, wahai Baginda Rasul?” ujar Al-Bushiri, sebagaimana diperagakan Kiai Idris.
Kemudian, Nabi Muhammad pun melafalkan salah satu bait terkenal dalam kasidah tersebut:
أَمِنْ تَذَكُّرِ جِيْرَانٍ بِذِيْ سَــــلَــمٍ ۞ مَزَجْتَ دَمْعًا جَرَيْ مِنْ مُقْلَةٍ بِـــدَمِ
“Aраkаh kаrеnа teringat tetаnggа уаng tіnggаl di Dzі Salam, sehingga engkau сuсurkаn air mata bеrсаmрur dаrаh уаng mеngаlіr dari matamu.”
أَمْ هَبَّتِ الرِّيْحُ مِنْ تِلْقَاءِ كَاظِمَـــةٍ ۞ وَأَوْمَضَ الْبَرْقُ فِيْ الْضَمَآءِ مِنْ إِضَـمِ
“Ataukah kаrеnа tiupan angin kеnсаng уаng bеrеmbuѕ dаrі аrаh Kаzhіmаh, atаu kаrеnа sinar kіlаt yang mеmbеlаh kеgеlараn mаlаm dari Gunung Idhаm.”
“Lalu, Al-Bushiri mematuhi perintah Nabi untuk membacakan dan melengkapi syair tersebut. Tetapi ketika hendak menyempurnakannya, Al-Bushiri terdiam, tepatnya ketika pada saat mensifati Nabi,” kata Kiai Idris.
Al-Bushiri merasa buntu ketika hendak menggenapi bait berikut:
… فمبلغ العلم فيه أنه بشر
“Lantas, Baginda Nabi sendiri yang menambahkan puisi tersebut dengan kalimat ‘وأنه خير خلق الله كلهم,” jelas sosok yang juga pengajar di Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah, Jakarta Selatan tersebut.
“Jadi, Al Bushiri ini memiliki logika yang bagus. Kata ‘basyar’ atau manusiawi itu menjadi saran untuk membatasi pujian terhadap Nabi Muhammad Saw. Meskipun betapa agungnya Rasulullah, umat Islam hanya patut mengaguminya di batas kemanusiaan, jangan sampai menuhankan,” sambung Kiai Idris.
Melihat kesempurnaan puisi Al-Bushiri, lanjut Kiai Idris, Rasulullah pun berbalik memujinya, bahkan menghadiahi jubah bergaris yang sedang dipakai Nabi.
“Jubah atau serban itu biasa disebut Burdah. Setelah Al-Bushiri terbangun, ia menyadari telah sembuh dari kelumpuhannya. Setelah itu, puisinya dikenal banyak orang dengan sebutan Kasidah Burdah,” pungkas Kiai Idris.