Ikhbar.com: Sejumlah selebritas di Tanah Air kerap terlihat berupaya menghadirkan tone (kesan) positif dengan menunjukkan keakrabannya bersama sang mantan suami maupun istri. Mereka pun seolah sedang mengedukasi masyarakat bahwa perceraian bukanlah hal yang mampu menghalangi atau memutuskan tali silaturahmi.
Lantas, bagaimana Islam mengatur batas-batas hubungan pasangan suami-istri yang telah bercerai? Tim Ahli Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat, Kiai Ghufroni Masyhuda mengupas perkara tersebut mulai dari pemaknaan kata “silaturahmi.”
“Silaturahmi atau relasi rahim itu hanya berlaku sebatas ayah dengan anak, atau ibu dengan anak, bukan keduanya (mantan suami/istri),” jelas Kiai Ghufron, Jumat, 10 Maret 2023.
Sebab, lanjut sosok yang juga Anggota Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cirebon itu, lafal “rahim” dalam Bahasa Arab bisa dimaknai sebagai orang yang memiliki ikatan darah (kandungan).
“Sementara untuk status suami maupun istri, terlebih lagi ketika sudah bercerai, tidak memiliki ikatan darah, saudara, maupun kerabat,” katanya.
Kiai Ghufron menegaskan, jika pernikahan merupakan ikatan agung yang menghalalkan seorang laki-laki dan perempuan memiliki hubungan khusus, maka perceraian adalah hal yang melepaskan ikatan suci tersebut.
Baca: Hukum Melangsungkan Pernikahan Jelang Ramadan, Ada Solusi Agak ‘Nakal’
“Pernikahan yang menjadi washilah (perantara) atas kehalalan hubungan itu, otomatis terhapus akibat adanya perceraian. Dalam artian, status mereka kembali sebagai ajnabi (lelaki lain/asing) dan ajnabiyah (perempuan lain),” jelasnya.
Apabila sudah dalam posisi seperti itu, kata Kiai Ghufron, maka keduanya memiliki konsekuensi untuk menjaga batasan tentang kemahraman sebagaimana sebelum mereka menikah.
“Apalagi bagi mantan suami atau istri yang sudah memiliki pasangan baru. Maka mendekatinya berpotensi mendatangkan mafsadat (kerusakan/bahaya), misalnya menimbulkan fitnah, kecemburuan, dan sejenisnya,” katanya.
Kiai Ghufron mengatakan, jika melakukan silaturahmi merupakan sesuatu yang bernilai baik atau maslahat secara syariat, tetapi di sisi lain menjalin hubungan dengan mantan suami maupun istri berpotensi mendatangkan bahaya, maka mencegah bahaya itu, dalam Islam, lebih diutamakan ketimbang mendatangkan kemaslahatan.
“Hal itu sebagaimana dikenal dalam kaidah fikih, dar’ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih. Menghindari kerusakan/bahaya harus lebih diuatamakan dari pada meraih kebaikan,” pungkasnya.