Oleh: Sofhal Adnan, al-Hafiz (Pemimpin Redaksi Ikhbar.com)
MANUSIA akan selalu berinteraksi dengan sesama. Hal itu menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk sosial.
Karenanya, dalam Islam Alternatif (2021) Jalaludin Rahmat, Watzlawcik, Beavin, dan Jackson mengatakan, “We cannot not communicate”: kita tidak dapat menghindari komunikasi.
Komunikasi dibilang sukses jika tujuan penyampaian isi hati dan sebagai sarana mengekspresikan diri sudah terwujud.
Dalam Islam sendiri, Nabi Muhammad Saw mengimbau kepada umatnya untuk bicara seperlunya saja:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. (HR. Bukhari).
Oleh sebab itu, umat muslim diharapkan untuk menghindari pembicaraan yang tidak mengandung faedah, terlebih membahas perkara yang dapat bersinggungan dengan dosa. Misalnya, ia menyampaikan informasi yang masih belum jelas sumbernya.
Prinsip kebenaran informasi harus dipegang erat oleh umat muslim. Jika tidak, buah dari informasi yang belum valid tersebut bisa memicu perpecahan.
Al-Qur’an mengingatkan kepada tiap muslim untuk selalu berbicara yang benar:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيداً
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian berkata dengan perkataan yang benar. (QS. Al-Ahzab: 70).
Imam Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kata قَوْلًا سَدِيداً adalah ungkapan-ungkapan kejujuran yang dimaksudkan untuk memperoleh kebaikan.
Ia menyebut, ayat ini berisi petuah agar segala tindakan dan perbuatan harus berorientasi baik. Sehingga pada akhirnya akan didapatkan keberuntungan di dunia dan di akhirat.
Untuk memudahkan umat muslim terkait etika berkomunikasi, Imam Al-Razi dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib telah menginventarisasi ayat-ayat Al-Qur’an yang patut disampaikan dalam berkomunikasi.
وَأَمَّا وَظِيفَةُ اللِّسَانِ الَّتِي هِيَ القول، فكما في قوله تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيداً [الْأَحْزَابِ: 70] وَفِي قَوْلِهِ تَعَالَى: وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا [فُصِّلَتْ: 33] وَقَوْلِهِ تَعَالَى: بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ [إِبْرَاهِيمَ: 27] وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوى [الفتح: 26] وإِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ [فَاطِرٍ: 10] إِلَى غَيْرِ هَذِهِ مِمَّا فِي غَيْرِ هَذِهِ السُّورَةِ
Adapun tugas lisan adalah sebagaimana dalam firman Allah Swt.: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berucaplah dengan ucapan yang jujur…”(Q.S. Al-Ahzab ayat 70), “Barang siapa yang memperbaiki ucapannya…” (Q.S. Fushilat ayat 33), “..dengan perkataan yang kokoh..” (Q.S. Ibrahim ayat 27), “Kami wajibkan kepada mereka kalimat takwa…” (Q.S. Al-Fath ayat 26), “dan kepadanya naik ucapan-ucapan yang baik…” (Q.S. Fathir ayat 10), dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip komunikasi dalam Islam adalah harus berorientasi pada kemaslahatan, baik kemaslahatan dunia maupun akhirat.
Selain itu, umat muslim juga diimbau jangan terlalu banyak bicara, kecuali memang diperlukan. Maka pantas saja Quraish Shihab berpesan, “Jangan berbicara menyangkut apa yang engkau tidak ketahui”.