Ikhbar.com: Penetapan 1 Syawal kerap menghadirkan keberagaman. Pasalnya, organisasi-organisasi masyarakat (Ormas) Islam memiliki metode baku dan keputusan mengikat terhadap anggotanya tekait hal tersebut. Sebagai contoh, pada penetapan Idulfitri 1444 H kali ini, Muhammadiyah telah memutuskan 1 Syawal dengan cara tidak menggenapkan Ramadan menjadi 30 hari.
Alhasil, hari raya Idulfitri menurut ormas berlambang surya itu jatuh pada Jumat, 21 April 2023. Penetapan tersebut didasarkan pada metode hisab alias perhitungan astronomi.
Lain halnya dengan Nahdlatul Ulama (NU) yang sejalan dengan ketetapan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag), yang memutuskan 1 Syawal dengan cara takmilah (menyempurnakan/menggenapkan) Ramadan sejumlah 30 hari. Dengan demikian, perayaan Idulfitri jatuh pada Sabtu, 22 April 2023.
Keputusan ini menyusul laporan pantauan Hilal dari berbagai lokasi di Indonesia dan disahkan melalui Sidang Isbat pada Kamis, 20 April 2023. Sidang Isbat menyimpulkan bahwa tinggi hilal tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), yaitu tinggi hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
Baca: Jika Pemerintah Tetapkan Lebaran Sabtu, Apakah Jumat Tetap Wajib Berpuasa?
Bagi umat Islam yang merayakan Idulfitri pada hari Jumat, terdapat beberapa pendapat ulama tentang hukum melaksanakan salat Jumat yang bersamaan dengan hari raya Idulfitri. Pendapat-pendapat tersebut berlaku pula untuk hari raya Iduladha.
Dalam Al-Mizan al-Kubra, Syekh Abdul Wahab As-Sya’roni menghimpun beberapa pandangan tersebut. Salah satunya ialah pendapat Imam Syafi’i:
إذا وافق يوم عيد يوم جمعة فلا تسقط صلاة الجمعة بصلاة العيد عن أهل البلد بخلاف أهل القرى إذا حضروا فإنها تسقط عنهم ويجوز لهم ترك الجمعة والانصراف
“Jika hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka salat Jumat tidak diganti dengan salat Id bagi penduduk kota, berbeda dengan penduduk desa yang jika hadir di salat Id maka tidak perlu salat Jumat. Penduduk desa bisa meninggalkan salat Jumat dan pulang setelah salat Id.”
Demikian itu karena pada zaman dahulu, umumnya masjid didirikan di pusat kota, sehingga orang-orang yang tinggal di desa harus menempuh jarak yang jauh untuk sampai ke masjid, serta melewati medan yang berat, seperti padang pasir. Oleh sebab itu, rukhsah (keringanan) diberikan kepada orang-orang yang tinggal di pedesaan yang jauh aksesnya ke masjid, agar tidak bolak-balik dengan jarak yang jauh di hari yang sama.
Lain lagi dengan pendapat Abu Hanifah yang mewajibkan salat Jumat bagi penduduk kota dan desa. Sementara itu, di kitab yang sama, menurut Imam Ahmad, salat Jumat tidak wajib bagi penduduk desa dan kota, sehingga salat Jumat bisa diganti dengan salat Zuhur jika hari raya bertepatan dengan hari Jumat.
Pendapat yang berbeda datang dari Imam ‘Ata:
تسقط الجمعة والظهر معاً في ذلك اليوم فلا صلاة بعد العيد إلا العصر
“Salat Jumat dan Zuhur bisa diganti dengan salat Id (jika hari raya dan hari Jumat bertepatan). Maka tiada salat lain setelah salat Id kecuali salat Asar.”
Namun, menurut mayoritas ulama, baik salat Jumat maupun salat Id tetap wajib dilakukan pada hari yang bersangkutan. Jika seseorang hanya salat Id dan tidak menghadiri salat Jumat, maka menurut al-Bayhaqi dan sebagian ulama lainnya, dia telah mengabaikan salat Jumat.
Beberapa ulama menyatakan bahwa istilah “hari raya” bisa juga merujuk pada salat Jumat, seperti yang tercatat dalam hadis.
Salat Jumat dan mendengarkan khutbah merupakan momen di mana hati umat Islam bersatu pada hari itu, dan salat Zuhur dianggap lebih ringan jika dibandingkan dengan salat Jumat.
Imam ‘Ata berpendapat bahwa sebaiknya mengikuti secara harfiah apa yang diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw, yaitu beliau sendiri hanya menunaikan salat Id dan tidak melaksanakan salat Jumat jika bertepatan dengan hari Jumat.
Tentang hal itu, sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam secara gamblang menjelaskan tentang rukhshah (keringanan) tersebut:
قال: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَصَ فِي الْجُمْعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
“Rasulullah menjalankan salat Id kemudian memberikan rukhshah untuk (tidak menjalankan) salat Jumat, kemudian beliau bersabda, ‘Siapa ingin salat Jumat, Silakan.” (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ad-Darami serta Ibnu Khazimah dan Al-Hakim).