Ikhbar.com: Ketupat menjadi simbol perayaan Idulfitri di Indonesia bukanlah tanpa sebab. Sejak mulanya, penganan berbahan beras itu memang lazim dijumpai di meja hidangan bersama lauk pauk khas Nusantara di setiap Lebaran tiba.
Selain disajikan di hari raya Idulfitri, ketupat juga kerap dijadikan properti pada acara adat di Jawa maupun Bali. Misalnya saat Sekatenan atau Gerebeg Maulud.
Abad 15
Bentuk ketupat memang segi empat, tetapi keberadaannya membentuk garis sejarah yang memanjang. Selain itu, makanan ini juga banyak disebut memiliki filosofi yang mendalam.
Banyak yang percaya bahwa ketupat diperkenalkan Sunan Kalijaga, salah satu anggota dewan walisongo, pada abad ke-15 Masehi. Bahkan, di awal kemunculannya, makanan dengan bungkus anyaman janur muda ini telah dikenal sebagai simbol perayaan hari raya dalam agama Islam.
Sejarawan Belanda, Hermanus Johannes de Graaf dalam Malay Annals (1950) menyatakan, ketupat sudah dijadikan simbol hari raya kepemimpinan Raden Patah dalam Kesultanan Demak.
Graaf menyebutkan, janur muda pada bungkus ketupat melambangkan identitas warga pesisir yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Bahkan dia memastikan, ketupat sudah ada dan menjadi makanan para petani Nusantara sejak masa Majapahit dan Padjajaran.
Tradisi makan ketupat para petani dilakukan setelah panen sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Dewi Sri. Dewi Sri, oleh masyarakat Jawa Kuno dipercaya sebagai dewi kemakmuran. Sosok tersebut diyakini sebagai dewi tertinggi bagi masyarakat yang saat itu memang mengandalkan sektor pertanian sebagai penghasilan utama.
Setelah runtuhnya era Majapahit dan Padjajaran, barulah Sunan Kalijaga kembali menghidupkan tradisi ketupat. Sosok yang memiliki misi menyebarkan agama Islam di Jawa itu memanfaatkan ketupat sebagai media dakwah.
Ketupat dijadikan sarana syiar Sunan Kalijaga hingga memasuki abad ke-16. Masyarakat saat itu menerima metode dakwah sang sunan yang dianggap cocok bagi mereka. Hingga akhirnya, ketupat pun dijadikan sebagai simbol hari raya Islam.
Menerjemahkan syariat
Dalam melaksanakan misi dakwahnya, Sunan Kalijaga menyisipkan aneka filosofi mendalam pada pemaknaan ketupat. Menurut Sunan Kalijaga, nama makanan yang kini kerap disajikan dengan opor ayam itu berasal dari bahasa Jawa ngaku lepat (mengakui kesalahan, serta bentuk sebuah permohonan ampun).
Semangat ngaku lepat itu kemudian diimplementasikan dengan sungkeman kepada orang tua, sikap rendah hati, memohon keikhlasan, dan memohon maaf dari sekelilingnya di setiap hari Lebaran.
Selain itu, ada pula yang meyakini bahwa ketupat menyimpan makna laku papat. Kalimat ini memiliki arti empat perilaku yang tercermin dari keempat sisi dari ketupat itu sendiri, yaitu lebaran, lubaran, leburan, dan laburan.
Lebaran berasal dari kata “Lebar” yang bermakna membukakan pintu maaf seluas-luasnya atas berbagai kesalahan dari orang lain. Sedangkan Lubaran berasal dari kata “Luber” yang memiliki arti rezeki melimpah (hingga meluber), serta bersedekah kepada orang-orang disekitar kita yang membutuhkan.
Sementara itu, Leburan berasal dari kata “Lebur” yang bermakna segala kesalahan dan dosa yang sudah dilakukan selama satu tahun kebelakang dileburkan atau dimusnahkan.
Terakhir, kata laburan berasal dari “kapur” yang bermakna kembali ke kondisi yang putih suci seperti bayi yang baru saja dilahirkan ke dunia.
Tidak hanya dari namanya, komposisi bahan pembuatan ketupat juga dimaknai secara luas.
Beras yang berada di dalam janur memiliki filosofi nafsu duniawi, sementara janur yang merupakan akronim dari bahasa Jawa, jatining nur, memiliki makna filosofis hati nurani.
Maka, ketika beras dan janur digabungkan menjadi ketupat, muncullah makna bahwa setiap orang harus bisa mengendalikan nafsu dunia dengan menggunakan hati nurani.
Pendapat lain mengatakan bahwa penggunaan daun kelapa muda dan berwarna kuning yang dibentuk segi empat ini memiliki makna sebagai penolak bala. Hal Itu juga mencerminkan prinsip orang-orang Jawa “kiblat papat, lima pancer” yang memiliki arti ke mana pun tujuan manusia, tempat kembalinya sudah pasti tetap kepada Allah Swt.
Di sisi lain, banyak yang mengira bahwa ketupat merupakan makanan khas umat Islam. Faktanya, makanan ini merupakan warisan dari budaya Hindu yang sudah lebih dulu menjadikannya sebagai makanan pokok. Maka tak heran, masyarakat Bali pun menggunakannya dalam berbagai tradisi.