Ikhbar.com: Ada banyak kisah cinta yang dikenang masyarakat umum. Tetapi lazimnya, cerita-cerita penggambaran kasih sayang itu malah berujung tragis dan menuai kepedihan. Sebut saja kisah Romeo dan Juliet, Qais dan Laila, Kahlil Gibran dan Salma Karami, Cleopatra dan Caesar, hingga Siti Nurbaya dan Syamsul Bahri.
Ada kesalingan tidak sempurna yang menjadikan hubungan pasangan tersebut tidak berujung bahagia. Kekayaan, status sosial, dan faktor lainnya mendominasi sebagai pengganjal laju emosional tersebut ke jenjang yang dicita-citakan.
Pertanyaanya, adakah kisah agung yang menunjukkan kesempurnaan dalam cinta? Jawabannya, ada. Yakni kisah-kisah Rasulullah Muhammad Saw bersama orang-orang terkasihnya.
Syekh Abu Muhammad bin Malik ibn Hisyam dalam Sirah An-Nabawiyah, misalnya, memotret betapa mengharukannya kisah cinta Nabi Muhammad dan Siti Khadijah hingga berhasil mengarungi biduk rumah tangga yang paripurna.
Berangkat dari hubungan profesional, Khadijah, seorang perempuan mapan yang berasal dari keluarga elite, malah menjadi pihak yang berinisiatif untuk melamar Nabi Muhammad yang notabene hanya sebagai kolega dalam bisnisnya. Khadijah terpikat perangai dan kisah-kisah kejujuran istimewa dari diri Nabi.
Ketika keduanya sudah menikah, Khadijah pun mampu memberikan peran yang tidak hanya sebagai istri dan kekasih Nabi Muhammad, tetapi juga sebagai mitra yang setia di masa-masa sulit sejak awal kenabian.
“Saat Nabi Muhammad menerima wahyu pertamanya melalui malaikat Jibril. Khadijah yang khawatir dengan kondisi suaminya, mengutus beberapa pelayan untuk mencari dia. Sesampainya di rumah, Rasulullah berbaring di pangkuan Khadijah dan bersandar pada pangkuannya untuk menenangkan diri. Dengan lembut, Khadijah berkata, ‘Suamiku, dari mana engkau? Saya sudah mengirim beberapa orang untuk mencari kamu sampai ke Mekkah, tetapi mereka kembali tanpa hasil,” tulis Ibn Hisyam, dikutip, Selasa, 14 Februari 2023.
Setelah Rasulullah bercerita tentang apa yang dialaminya di Gua Hira, Khadijah pun menguatkan Rasulullah tentang kebenaran yang datang kepadanya.
Dalam kitab yang sama, Ibn Hisyam mengutip pernyataan Ibn Ishaq tentang sosok Khadijah sebagai penawar lara bagi Nabi Muhammad.
“Jika Rasulullah sedih karena mendengar cacian dan ejekan terhadap dirinya, Allah menghapuskan kesedihannya melalui Khadijah binti Khuwailid saat beliau kembali padanya. Khadijah Khuwailid memotivasi dan membantu Rasulullah, meringankan beban dan membenarkan dirinya. Ia juga tidak mempermasalahkan reaksi negatif manusia terhadap Rasulullah.”
Respons Khadijah terhadap situasi Rasulullah mencerminkan ‘support system’ yang ideal dalam relasi suami-istri. Khadijah tidak berada dalam posisi subordinat yang sekadar bertindak melayani, melainkan juga mengambil inisiatif-inisiatif yang berdampak penting terhadap pembentukan fondasi dakwah Islam yang kokoh.
Tak mengherankan jika setelah kepergian Khadijah, Rasulullah masih mengingat dan mengenangnya sebagai kekasih yang tidak tergantikan, sebagai ‘soulmate’ atau belahan jiwa yang bersamanya melewati suka dan duka dengan penuh kebahagiaan. Bahkan, hal itu tak jarang membuat istri-istri lainnya merasa iri ketika Rasulullah bercerita tentang sosok Khadijah.