Ikhbar.com: Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I yang dimotori Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Selasa, 7 Februari 2023 lalu merekomendasikan penolakan sistem khilafah sebagai ide bernegara.
NU yakin bahwa klaim sistem khilafah yang diterapkan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) belakangan hari sangat bertentangan dengan tujuan utama syariah, yakni mempertahankan nyawa, agama, akal, keluarga, dan harta.
Pemerhati politik Timur Tengah, Muhammad Sofi Mubarok berpendapat, perbedaan pandangan NU terhadap sistem khilafah berasal dari kajian hukum Islam. Artinya, jika khilafah diterima sebagai norma, hal ini tidak bertentangan dengan pandangan ahlussunah wal jamaah.
“Maksudnya, keberadaan seseorang sebagai pemimpin adalah wajib. Namun, sistem kepemimpinan sendiri adalah hal yang bersifat ijtihadi, sehingga perlu memperhatikan konteks saat ini,” ujar dia, Senin, 13 Februari 2023.
Penulis buku Kontroversi Dalil-dalil Khilafah (2017) itu menjelaskan, sebagian hukum yang timbul dari dalil syariah bersifat mutlak dan pasti, akan tetapi implementasinya bisa saja bersifat relatif. Hal ini, kata dia, sesuai dengan kaidah yang pernah diungkapkan Imam Abu Zahra dalam Tarikh Al-Mazahib Al-Islamiyah.
“Dengan kata lain, sistem yang digunakan untuk mengelola negara bisa berbeda-beda, tergantung kondisi zaman dan situasi global. Meski tentu saja kehadiran suatu pemimpin merupakan doktrin keagamaan yang ketetapannya menjadi konsensus seluruh ulama,” jelas Sofi.
Dia menegaskan, sistem kekhilafahan yang dianut Hizbut Tahrir dan ISIS memiliki dasar yang sama, yaitu otoritarianisme dan teokrasi. Kedua sistem ini dapat mengarah pada tumbuhnya tirani karena menganggap seorang khilafah harus benar dan berfungsi secara sekaligus sebagai legislatif, eksekutif, yudikatif l, dan juga sebagai representasi Tuhan di dunia.
“Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Taymiyyah sebagai pendukung sistem khilafah dengan pendapat ‘Al-khalifah wa al amir wa al malik bi-maknan wahid (khalifah, amirul mukminin, dan raja memiliki makna yang sama),” kata dia.
Di samping itu, Sofi menegaskan sistem khilafah belum memperkenalkan konsep raqabatul ummat, yaitu hak kontrol atau pengawasan masyarakat sipil. “Karena dalam sistem khilafah, trias politika hanya berada pada satu badan, yaitu khalifah. Maka ia tidak mengenal konsep aspirasi dan pengawasan publik. Ini berpotensi untuk memudahkan abuse of power,” kata Sofi.
“Dan hal itu sudah tidak relevan dalam situasi sosial politik saat ini,” sambung dia.