Ikhbar.com: Rasulullah Muhammad Saw melaksanakan salat Isya di rumah sepupunya, Hindun atau Ummi Hani’ binti Abu Thalib. Setelahnya, Nabi merasa mengantuk dan segera tidur.
Jelang subuh, Rasulullah Saw terbangun dan menceritakan peristiwa luar biasa kepada Ummi Hani’. Nabi mengungkapkan bahwa ia telah melangsungkan perjalanan yang begitu singkat dari Masjid Al-Haram di Mekkah ke Masjid Al-Aqsa, Palestina.
Ummi Hani’ yang mendengar cerita itu meminta Nabi untuk tidak menceritakan kepada siapa pun. Ia khawatir, akibat cerita itu Nabi dicap pendusta dan dicelakakan orang lain.
Meski demikian, Nabi Muhammad Saw tetap teguh pada prinsipnya. Ia bergegas keluar untuk menceritakan peristiwa yang begitu dahsyat tersebut.
Setelah sampai di Masjid, benar saja, pengakuan Nabi tersebut dicemooh Abu Jahal dan kaum Quraisy lainnya. Mereka merespons pengakuan Nabi dengan sinis, ada yang bertepuk tangan hingga bersiul. Apa yang diceritakan Nabi saat itu menurut mereka adalah sebuah kemustahilan.
Mereka yang tidak percaya akan peristiwa itu lantas menemui Abu Bakar.
“Kamu dustakankah itu? Kalau begitu yang dia katakan, benarlah yang dikatakannya itu!,” jawab Abu Bakar.
Seakan tak puas, orang Quraisy kemudian menemui Rasulullah kembali dengan segudang pertanyaan apakah Nabi bisa menjawabnya dengan detail. Setelah ditanya berbagai macam pertanyaan, Nabi pun mampu menjawabnya dengan tegas dan benar.
Peristiwa itu terjadi pada 27 Rajab. Terkait tahunnya, ada yang mengatakan pada tahun 10 dan 11 setelah kerasulan Nabi Muhammad Saw.
Perdebatan terkait peristiwa Isra Mikraj masih berlangsung hingga kini. Mereka memperdebatkan apakah yang melangsungkan perjalanan itu benar wujud Nabi Muhammad atau hanya sekadar mimpi atau roh Nabi belaka.
Allah Swt berfirman:
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya) agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra: 1).
Imam Ibn Katsir menafsirkan potongan ayat سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ dengan “agar manusia mau mengakui kesucian Allah dari sifat-sifat keagungan serta ke-Mahakuasaan Allah atas segala sesuatu, kemudian diakhiri dengan ucapannya yaitu kepasrahan kepada Allah.”
Begitupun dengan menafsirkan kalimat الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ dengan tampak jelas kecenderungannya pada kontekstual, i’rab dan balaghah, serta banyak mengemukakan kisah dengan peristiwa yang irrasional yang terjadi pada peristiwa mikraj Rasulullah Saw.
Penafsiran yang sedikit berbeda dituangkan oleh Musthafa Al-Maraghi. Ia secara rasional memaparkan ide-ide ilmu alam, teori-teori ilmiah, dan ide-ide filsafat dengan pernyataannya ketika menafsirkan ayat سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ:
“Mensucikan dan mengagungkan sifat-sifat Allah, juga menentang dari pernyataan orang-orang musyrik yang menyatakan bahwa Dia (Allah) mempunyai sekutu di antara makhluk-Nya dan Allah mempunyai seorang istri dan seorang anak.”
Sementara itu, Al-Maraghi menafsirkan kalimat الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ dengan “Menekankan
kemanfaatan sumber daya manusia untuk
mengelola dan memelihara tanah yang subur tersebut, untuk kemakmuran serta mendapatkan keberkahan.” Dengan demikian, Al-Maraghi cenderung dalam menafsirkannya secara intelektual.
Meski demikian, baik Ibn Katsir dan Musthafa Al-Maraghi sepakat bahwa mikraj yang dilakukan Nabi Muhammad Saw melibatkan roh sekaligus jasadnya.
Keduanya berargumen, jika mikraj Nabi dilakukan dengan tidur belaka, tidaklah mungkin surat Al-Isra diawali dengan kalimat tasbih.
Selain itu, andai isra dan mikraj itu dilakukan dengan keadaan tidur, tentu orang Quraisy tidak dengan serta merta mendustakannya, juga banyaknya orang-orang Muslim yang menjadi murtad kembali lantaran adanya berita tersebut. Hal itu menunjukkan peristiwa
tersebut bukanlah peristiwa yang biasa.
Lagipula kata-kata Ummi Hani’ yang melarang Nabi menceritakannya kepada siapa pun agar mereka tidak mendustakannya, juga menguatkan bahwa isra dan mikraj itu dilakukan dengan roh dan jasad. Peristiwa diberi gelarnya Abu Bakar dengan As-Shidiq pun muncul karena dia membenarkan Nabi telah melaksakan isra dan mikraj baik secara roh maupun jasad.
Ibn Katsir dan Musthafa Al-Maraghi menilai peristiwa tersebut dilakukan Nabi dengan roh dan jasad juga karena adanya penggunaan kata بِعَبْدِهِ pada awal surat Al-Isra tersebut.
Alasan berikutnya, berdasarkan perkataan Ibn Abbas bahwa orang-orang Arab kerap kali dalam menggunakan kata ru’ya dalam arti penglihatan mata, seperti dalam firman Allah;
وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِّلنَّاسِ وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُونَةَ فِي الْقُرْآنِ ۚ وَنُخَوِّفُهُمْ فَمَا يَزِيدُهُمْ إِلَّا طُغْيَانًا كَبِيرًا
Artinya: “Dan Kami tidak menjadikan
mimpi yang telah Kami perlihatkan
kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia.” (QS. Al-Isra: 60).
Alasan lainnya diperkuat dengan Nabi diperlihatkan pada waktu isra mikraj berarti penglihatan mata yang mungkin terjadi karena kecepatan yang serupa telah dibuktikan oleh manusia dengan teknologi modern.
Sementara pendapat yang menilai bahwa isra mikraj Nabi itu hanya ruhnya saja berpegangan dengan sumber berikut;
- Mu’awiyah ibn Abi Sufyan apabila ditanya tentang isra dan mikraj Nabi Muhammad saw, dia menjawab;
كان رؤيا من الله صادقة
“Isra Nabi itu adalah mimpi yang benar yang datangnya dari Allah.”
- Keluarga Abu Bakar ra berkata:
ما فقد جسد رسول الله صلى الله عليه وسلم ولكن ارسى بروحه
“Aisyah pernah berkata, ‘Jasad Rasulullah saw (pada saat isra) tidaklah lenyap, akan tetapi rohnyalah yang diisrakan.”
- Al-Hasan berkata, “Bahwa yang dimaksud dengan ru’ya dipakai khusus untuk orang tidur”.
Pendapat di atas mendapat pertentangan dari berbagai pihak dengan alasan bahwa argumen Mu’awiyah mengandung kelemahan. Pasalnya, pada waktu itu, Mu’awiyah belum masuk Islam. Sebab itulah, riwayatnya tidak boleh diterima.
Selain itu, riwayat Aisyah mendapatkan kritikan dari para muhadisin karena pada saat itu Aisyah masih kecil dan belum menjadi istri Rasulullah Saw.