Ikhbar.com: Jarak Mekkah-Palestina sepanjang 1.485.35 kilometer atau 920.92 mil sudah cukup menjadi bahan olok-olok para pengingkar Nabi Muhammad Saw. Belum lagi, rentang yang teramat jauh antara bumi dan langit lapis ketujuh, menjadikan peristiwa isra maupun mikraj yang hanya ditempuh dalam waktu semalam itu tidak gampang diterima akal.
Kecenderungan manusia menuntut pembuktian. Padahal, peristiwa isra mikraj justru menjadi mata uji keimanan seseorang untuk mengimani kekuasaan Allah Swt tanpa syarat. Apalagi, isra mikraj bukanlah kejadian yang dapat dipelajari secara ilmiah lewat pengamatan empiris. Baik isra ataupun mikraj, keduanya bukanlah bagian dari dunia fisik yang dapat diukur dan diobservasi.
Teori relativitas
Meski begitu, teori-teori sains sudah berusaha merasionalisasikan peristiwa agung tersebut. Salah satunya tentang kemungkinan terjadinya konsep warping (pembengkokan) ruang dan waktu.
Albert Einstein mengkategorikan konsep tersebut dalam teori relativitas umum. Lebih jelas mengenai teori itu, dalam The Foundation of The General Theory of Relativity (2020) disebutkan bahwa massa dan energi dapat menekuk atau membengkokkan ruang-waktu sehingga jalur alias lintasan suatu benda di sekitarnya terpengaruh.
“Pembengkokan ruang-waktu terjadi karena massa dan energi menciptakan medan gravitasi, dan medan ini menentukan bagaimana massa atau partikel lain bergerak di sekitarnya,” dikutip dari buku tersebut, Sabtu, 18 Februari 2023.
Teori tersebut kemudian berkembang dan populer dengan istilah ‘Jembatan Einstein-Rosen’ atau yang lebih dikenal dengan ‘wormhole‘ (lubang cacing).
Kip Thorne, seorang fisikawan teoretis dan pemenang Penghargaan Nobel Fisika pada 2017, dinilai telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan teori tersebut.
“Teori ini memungkinkan adanya jalur pintas melalui ruang-waktu yang dapat mempersingkat jarak yang seharusnya sangat jauh, bahkan hingga jutaan tahun cahaya,” tulis Thorne dalam Black Holes and Time Warps: Einstein’s Outrageous Legacy (1994).
Melompati ruang-waktu
Sementara itu, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Pusat Riset Antariksa, Organisasi Riset Penerbangan dan Antaraksa (ORPA), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin menjelaskan, isra mikraj dalam kacamata sains adalah perjalanan keluar dari dimensi ruang-waktu.
“Dengan demikian, isra mikraj bukan perjalanan biasa, bukan perjalanan dengan wahana antariksa, serta bukan perjalan antariksa di antara planet-planet, bintang-bintang, atau galaksi,” tulis dia, dikutip dari laman Alhidayah Badan Geologi.
Ia merunut, salah satu bagian kisah peristiwa isra mikraj yaitu setelah Rasulullah saw didatangkan buraq, makhluk berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata dalam melaksanakan isra. Setelah itu, Nabi melanjutkan perjalanan memasuki tujuh lapis langit tempat beliau bertemu Nabi Adam AS hingga Nabi Ibrahim AS.
Kemudian, Nabi Muhammad Saw melanjutkan perjalanan puncak ke Sidratulmuntaha untuk menerima perintah kewajiban salat.
“Sidratulmuntaha ini lambang batas yang tidak seorang manusia atau makhluk lain bisa mengetahui lebih jauh,” kata Thomas.
Dia menjelaskan, manusia pada dasarnya hidup di dalam dimensi ruang-waktu yang serbaterbatas. Batas itu berupa adanya ruang, jauh-dekat, masa lampau-sekarang-masa depan, serta waktu singkat dan waktu lama.
Karena itu, setingkat para sahabat Rasulullah Saw sekalipun kaget mendengar perjalanan kurang dari semalam dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Palestina. Sebab, perjalanan dengan kuda tercepat pun butuh waktu cukup lama.
Menurut Thomas, manusia pada dasarnya mengenal batas dimensi. Ia mencontohkan, sebuah perjalanan dua dimensi punya rute berbentuk huruf U atau tapal kuda. Namun, perjalanan keluar dari dimensi dapat memiliki rute loncat dari ujung huruf U ke ujung huruf U satunya.
“Malaikat Jibril, jin, itu juga termasuk makhluk di luar dimensi ruang waktu. Karena itu mudah saja bagi malaikat mengajak Nabi untuk melakukan perjalanan di luar ruang-waktu. Ini hal yang sama ketika iblis turun ke bumi dan bisa berada di mana pun dan tidak mati,” kata dia.
Sedangkan terkait konsep tujuh lapis langit, sains memandang bahwa penomoran itu menandakan angka tidak terhingga.
Thomas menjelaskan, tidak ada lapisan langit dan atmosfer secara nyata di alam semesta. Atmosfer dibedakan berdasarkan derajat suhu dan lainnya, namun, tidak secara khusus berlapis. Sementara itu, langit mencakup wilayah orbit satelit, orbit bulan, dan juga tata surya.
“Struktur besar alam semesta yang tidak hingga itu disebut tujuh langit,” kata dia.