Ikhbar.com: Meja redaksi Ikhbar.com mendapatkan sejumlah kiriman pertanyaan dari para pembaca yang budiman, khususnya seputar fikih puasa. Pertanyaan yang terkumpul didominasi tentang keragu-raguan publik terhadap kategori mitos atau fakta dari setiap istilah yang sudah telanjur masyhur di tengah masyarakat.
Berikut Ikhbar.com rangkum lima pertanyaan dengan jawaban yang dikupas secara langsung oleh Tim Ahli Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat, Kiai Ghufroni Masyhuda:
Apakah benar tidur orang yang sedang berpuasa bernilai ibadah?
Jawabannya adalah benar. Hal itu seperti yang dijelaskan dalam hadis Rasulullah Muhammad Saw:
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ
“Tidurnya orang yang sedang berpuasa merupakan ibadah, diamnya adalah tasbih, amal ibadahnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, serta dosanya diampuni” (HR Baihaqi).
“Sebab, puasa adalah al-imsak atau menahan diri dari hal-hal yang bisa membatalkan. Jadi, ketika seseorang tertidur, maka setidaknya ia akan meminimalisir atau tercegah untuk melakukan tindakan yang malah akhirnya bisa menghilangkan pahala puasa,” kata Kiai Ghufron, Senin, 13 Maret 2023.
Sayangnya, lanjut Kiai Ghufron, hadis ini kerap disalahgunakan oleh sebagian orang untuk membenarkan sikap malasnya di saat bulan Ramadan.
“Seharusnya, semangatnya itu ada di lafal berikutnya, yakni wa ‘amaluhu mudhaafun, amal ibadahnya akan dilipatgandakan,” katanya.
“Jadi, meskipun tidurnya orang yang sedang berpuasa itu ibadah, tapi kita harus punya semangat bahwa akan lebih baik jika ketika berpuasa, kita perbanyak amal demi meningkatkan kualitas puasa,” sambung Kiai Ghufron.
Baca: Cara Bijak Menyikapi Perbedaan Hasil Penetapan Awal Ramadan versi NU dan Muhammadiyah
Banyak sahur, banyak pahala?
Kiai Ghufron menjelaskan, sahur disunahkan karena alasan taqawi alias untuk menguatkan puasa.
“Tapi bukan berarti melegalkan bahwa sahur itu harus banyak,” katanya.
Kiai Ghufron menceritakan, sekali waktu Imam Al Alqami ditanya, “Jika hikmah puasa adalah mengosongkan perut agar bisa menundukkan hawa nafsu, apakah sahur itu tidak justru bertentangan? Sebab, pekerjaan sahur adalah mengisi perut, bukan mengosongkan.”
“Kemudian Al Alqami menjawab bahwa anjuran sahur itu bukan dengan memperbanyak makan, tetap sekadar untuk meraih kesunahan,” kata Kiai Ghufron.
Hal itu, lanjut Kiai Ghufron, merujuk pada hadis Nabi Saw:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً
“Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat berkah.” (HR Bukhari).
“Maka, silakan makan sahur, tetapi tidak dengan memperbanyak dan memperenak makanannya. Karena itu justru akan bertentangan dengan visi-misi puasa,” kata Kiai Ghufron.
Mengorek kuping dan mengupil membatalkan puasa?
Untuk kasus ini, Kiai Ghufron mengajak publik agar terlebih dahulu memahami area yang dimaksud pada pertanyaan tersebut.
“Karena di dalam fikih, baik hidung maupun telinga, itu ada yang disebut area jauf atau bagian dalam, juga area luar. Jika benda asing masuk ke anggota tubuh kita sampai ke level jauf, maka itulah yang bisa membatalkan puasa,” katanya.
Sederhananya, kata Kiai Ghufron, area yang masih bisa terlihat, itu termasuk pada kategori luar. Akan tetapi jika sudah sampai pada pangkal yang menuju organ bagian dalam, itu dinamakan jauf.
Mandi saat berpuasa dihukumi makruh?
Jawabannya, kata Kiai Ghufron, tidak. Akan tetapi dengan sejumlah catatan.
“Jika mandi dalam keadaan normal, itu tidak makruh, malah dianjurkan. Kemakruhan itu hanya bisa muncul ketika dalam istilah fikih disebut mubalaghah atau keterlaluan. Misalnya, dengan menyelam. Sebab, hal itu membuka peluang masuknya air ke dalam tubuh,” katanya.
Hal tersebut juga berlaku pada mandi wajib. Karena mandi junub sangat berpotensi mengakibatkan air masuk melalui mulut dan lainnya.
“Jadi, mandi wajib di siang hari saat berpuasa itu makruh. Tetapi kalau malam, justru disunahkan,” ungkap Kiai Ghufron.
Berpikir yang bisa mengundang syahwat membatalkan puasa?
Kiai Ghufron menjelaskan, dalam literatur fikih tidak dijumpai keterangan bahwa hal tersebut bisa membatalkan puasa.
“Yang ada, mengurangi kualitas puasa. Jadi, hukumnya bisa makruh, tetapi tidak sampai pada level membatalkan,” pungkas Kiai Ghufron.
Bagi pembaca Ikhbar.com yang memiliki pertanyaan seputar fikih ibadah maupun muamalah, hukum waris Islam, keuangan dan ekonomi syariah, tata kelola zakat, dan sejenisnya, bisa dilayangkan melalui email redaksi@ikhbar.com dengan judul “Konsultasi Syariah.”
Setiap as’ilah atau pertanyaan yang masuk, akan dibedah melalui tim maupun tokoh-tokoh yang cakap di bidangnya dengan sumber-sumber rujukan valid dalam literatur keislaman.