Assalamualaikum. Wr. Wb.
Tim Redaksi Ikhbar.com dan Ning Uswah. Saya Aisyah dari Kedoya Selatan, Jakarta Barat.
Ning, sekilas kasus salah satu artis perempuan yang menggugat cerai suaminya karena kebanyakan menonton drama Cina terdengar sepele dan aneh. Namun, tingkat kepekaan terhadap sesuatu bersifat relatif. Hal yang dianggap remeh oleh seseorang belum tentu kecil bagi orang lain, dan sebaliknya.
Oleh karena itu saya ingin bertanya kepada Ning Uswah, dalam kacamata Islam, terutama fikih, apa saja kategori yang membolehkan atau layak bagi seorang istri untuk menggugat cerai suaminya? Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Baca: Perceraian Itu Solusi atau Bencana? Begini Penjelasan Ning Uswah
Jawaban:
Waalaikumsalam Wr. Wb.
Kak Aisyah dari Kedoya Selatan, Jakarta Barat.
Lini masa media sosial belakangan ini memang ramai dengan sorotan terhadap meningkatnya kasus perceraian. Ungkapan “marriage is scary” (pernikahan itu menakutkan) semakin sering muncul, dipicu oleh banyaknya cerita pribadi yang dibagikan secara terbuka. Meski begitu, pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah tetap menjadi harapan yang hidup di hati banyak orang.
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa pernikahan bukan sekadar kisah bahagia yang sering dibayangkan, tetapi perjalanan panjang yang penuh ujian. Setiap rumah tangga punya cerita dan perjuangan masing-masing. Ada yang memilih bertahan, ada pula yang akhirnya berpisah, baik melalui talaq/talak oleh suami maupun khulu’ (permintaan cerai) oleh istri. Alasan di baliknya pun beragam, dari ketidakcocokan yang baru terasa setelah menikah hingga perbedaan antara harapan dan kenyataan dalam kehidupan bersama.
Baca: Cerai bukan Kiamat, Ini Cara Berdamai dengan Perpisahan
Lantas, bolehkah seorang istri mengajukan gugatan atau meminta cerai karena perkara yang tampak kecil?
Dalam Islam, firaq/furqah berupa talak atau khulu’ adalah jalan keluar bagi prahara rumah tangga yang tidak dapat dipersatukan kembali. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum talak:
- Wajib: Jika suami bersumpah tidak akan menggauli istri (ila’).
- Sunah: Jika suami tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada istri atau jika istri tidak mampu menjaga harga dirinya karena perilaku suami yang buruk.
- Haram: Talak yang dijatuhkan ketika istri sedang haid atau talak yang dijatuhkan oleh suami dalam keadaan sakit untuk menghalangi pewarisan.
- Makruh: Berdasarkan hadis yang berbunyi:
أَبْغَضُ الْخَلاَلِ إِلَى اللهِ الطَلاَقِ
“Perbuatan halal yang dibenci Allah adalah talak.”
Hadis ini berstatus ahad (jumlah perawi tidak mencapai derajat mutawatir/beruntun). Meski demikian, hadis tersebut dapat dijadikan hujjah (dalil) dalam beberapa perkara praktis seperti ibadah, kaffarat (hukuman denda), dan hukum syariah.
Baca: 6 Jenis Perselingkuhan di Era Digital, Mana yang Paling Berbahaya?
Lalu bagaimana jika perceraian diajukan oleh istri? Dalam Surah Al-Baqarah: 229, Allah Swt berfirman:
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali; setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika keduanya khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah; maka tidak ada dosa atas mereka mengenai bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.”
Ayat ini menjadi dasar hukum khulu’ dan penerimaan ʿiwādh, yaitu permintaan cerai oleh istri dengan pembayaran sebagai penebus.
Perceraian yang diajukan istri karena berbagai alasan, misalnya, tidak ada kecocokan, suami malas, atau kebiasaan menonton drama Cina atau Korea, pada prinsipnya diperbolehkan bila istri merasa tidak mampu lagi menjalankan ibadah kepada Allah Swt melalui jalur pernikahan.
Baca: Doa Keharmonisan Rumah Tangga ala Ning Uswah
Dalam Al-Mughni, pada Kitab al-Khulʿ disebutkan:
أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها
“Jika seorang istri membenci suaminya karena akhlaknya, fisiknya, agamanya, usianya, kelemahannya, atau hal serupa, dan khawatir tidak dapat menjalankan hak Allah dalam ketaatan, maka diperbolehkan baginya melakukan khulʿ dengan memberi kompensasi untuk menebus dirinya sendiri.”
Tercatat pula contoh sahabat perempuan yang menggugat cerai suaminya karena khawatir tidak bisa bersyukur atau tidak merasa bahagia meskipun suaminya baik agama dan akhlaknya.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أُعِيبُ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟ فَقَالَتْ: نَعَمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْبَلِ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا طَلَاقًا؛ رواه البخاري
“Istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi Muhammad Saw lalu berkata, ‘Tsabit bin Qais tidak aku cela dari segi agama maupun akhlak, tetapi aku takut terjadi kekufuran dalam kehidupanku.’ Nabi bertanya, ‘Apakah kamu mau mengembalikan tamannya (maharnya)?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Maka Nabi memerintahkan agar tamannya diterima dan Tsabit menceraikannya.” (HR. Bukhari)
Pada dasarnya, tidak ada ukuran mutlak untuk membedakan mana persoalan yang sepele dan mana yang besar dalam rumah tangga. Yang jauh lebih penting adalah sejauh mana pasangan mampu menghadapi dan menyelesaikannya bersama.
Baca: Marriage is Scary? Ini Solusi sesuai Sunah Nabi
Bagi sebagian orang, hal-hal yang tampak ringan seperti perbedaan hobi menonton, kecanduan permainan, atau memudarnya rasa cinta bisa menjadi sumber ketegangan yang nyata dan berujung pada keputusan untuk berpisah.
Pernikahan bukan sekadar perjanjian perdata. Pernikahan adalah syariat yang ditetapkan Allah Swt dalam Al-Qur’an, dianjurkan oleh Rasulullah Saw, dan merupakan ikatan yang mengikat kedua pihak di hadapan Allah. Sebelum mengambil keputusan terhadap amanah besar ini (amanah dunia dan akhirat) pertimbangkan matang-matang: sanggupkah menjalani kewajiban pernikahan, bertanggung jawab, dan mempertahankan pilihan demi Allah? Dalam pernikahan, kepada siapa mestinya kita mencari rida: rida suami, rida orang tua, atau rida Allah dan Rasul-Nya?
Allah Swt berfirman:
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka tentang apa yang mereka lakukan itu, niscaya mereka akan menjawab: ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’” (QS. At-Taubah: 65)
Jadi, mari renungkan bersama: sebelum melangkah ke tanggung jawab yang sangat besar ini, pikirkan matang-matang — sanggupkah menikah, bertanggung jawab, dan mempertahankan pilihan atas nama Allah? Wallahu a’lam bish-shawab.
Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur, serta penulis buku Jodoh di Tangan Tuhan, Selebihnya Hasil Lobian (2025).
Bagi pembaca Ikhbar.com yang memiliki pertanyaan seputar fikih ibadah maupun muamalah, hukum waris Islam, keuangan dan ekonomi syariah, tata kelola zakat, dan sejenisnya, bisa dilayangkan melalui email redaksi@ikhbar.com dengan judul “Konsultasi.”
Setiap as’ilah atau pertanyaan yang masuk, akan dibedah melalui tim maupun tokoh-tokoh yang cakap di bidangnya dengan sumber-sumber rujukan valid dalam literatur keislaman.