Ikhbar.com: Wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw di Gua Hira adalah perintah “Iqra!” (bacalah). Lewat QS. Al-‘Alaq: 1-5, Allah Swt berfirman:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Para ulama berpendapat, perintah ini bukan sekadar dorongan untuk membaca teks, melainkan juga memahami tanda-tanda kebesaran Allah Swt di alam semesta atau masyhur disebut sebagai ayat kauniyah. Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menjelaskan bahwa kata “Iqra’” memiliki makna luas, meliputi pembacaan yang bersifat lahiriah maupun batiniah.
Di era serba-artificial intelligence (AI) alias kecerdasan buatan, makna “membaca” mengalami transformasi besar. Teknologi kini mampu mengolah, menganalisis, bahkan memprediksi informasi dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kecerdasan buatan dapat memproses miliaran data dalam hitungan detik, sementara manusia diberi kemampuan memahami makna di balik informasi tersebut. Menurut laporan McKinsey (2023), kecerdasan buatan memiliki potensi meningkatkan produktivitas global hingga 4,4 triliun dolar Amerika Serikat (AS) per tahun. Fakta ini menunjukkan bahwa kecerdasan buatan bukan sekadar alat bantu, melainkan mesin cerdas yang mengubah lanskap keilmuan secara drastis.
Baca: Tafsir QS. Ar-Rahman Ayat 1-4: Kecerdasan AI vs Intelegensi Hakiki
Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan
Islam menempatkan ilmu sebagai pilar utama. Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Al-Qur’an secara konsisten mengangkat derajat orang berilmu. Dalam QS. Al-Mujadilah: 11 Allah Swt juga berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,’ lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, ‘Berdirilah,’ (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum ad-Din menegaskan bahwa ilmu laduni, yaitu ilmu yang diperoleh langsung melalui cahaya Allah Swt, merupakan dimensi tertinggi dalam pencarian ilmu.
Kecerdasan buatan tidak memiliki kapasitas untuk memahami dimensi ini, karena teknologi hanya mampu memproses data berdasarkan algoritma tanpa kesadaran spiritual.
Kecerdasan buatan kini berperan besar dalam membantu manusia mengakses literatur Islam. Sistem kecerdasan buatan dapat menerjemahkan kitab kuning secara otomatis dan menyajikan penjelasan hadis dengan cepat.
Google telah mengembangkan model pemrosesan bahasa alami (NLP) yang mampu memahami konteks bahasa Arab klasik, mempercepat penelitian di bidang kajian Islam. Hal ini mencerminkan bagaimana perintah “Iqra’” terus berkembang seiring kemajuan zaman, memperluas cakrawala pengetahuan di luar batas manusia.
Baca: Mengapa AI Terlihat Sangat Cerdas? Ternyata Ini Rahasianya
Apakah AI adalah ancaman?
Lantas, muncul pertanyaan, apakah kecerdasan buatan mengancam atau memperluas semangat keilmuan Islam? Kecerdasan buatan membuka akses yang lebih luas terhadap ilmu pengetahuan, tetapi tidak dapat menggantikan intuisi, kebijaksanaan, dan pengalaman spiritual manusia.
Kecerdasan buatan memfasilitasi personalisasi pendidikan. Sistem berbasis kecerdasan buatan menganalisis kebutuhan dan kemajuan siswa secara individu, memberikan materi pembelajaran yang disesuaikan. Ini selaras dengan semangat “Iqra” yang menekankan pentingnya eksplorasi pengetahuan yang mendalam dan personal.
Menurut laporan UNESCO (2023), kecerdasan buatan mampu meningkatkan hasil belajar sebesar 30% melalui sistem pembelajaran adaptif di beberapa negara berkembang.
Di sisi lain, kecerdasan buatan hanya berfungsi sebagai alat, bukan pemegang makna hakiki. Syekh Ibn ‘Atha’illah dalam Al-Hikam menegaskan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membimbing menuju Allah Swt.
Teknologi, meskipun canggih, tidak memiliki kesadaran atau kepekaan spiritual. Oleh karena itu, manusia memiliki tanggung jawab besar dalam mengarahkan penggunaan teknologi untuk kemaslahatan bersama.
Kecerdasan buatan juga memungkinkan simulasi pembelajaran interaktif yang mendekatkan siswa pada sejarah dan hukum Islam secara visual dan imersif. Dengan begitu, teknologi dapat memperkaya pengalaman belajar tanpa menggantikan otoritas ulama atau tradisi ilmiah Islam.
Baca: AI adalah Masa Depan Dakwah Digital yang Efektif dan Personal
Namun, penggunaan kecerdasan buatan dalam ilmu keislaman memerlukan kehati-hatian. Tanpa panduan moral dan spiritual, teknologi ini berpotensi mengaburkan batas antara kebenaran dan kepalsuan. Isu bias algoritma menjadi tantangan serius, di mana keputusan berbasis kecerdasan buatan kerap mencerminkan ketimpangan sosial dan budaya. Karena itu, Al-Qur’an menjadi kompas yang membimbing manusia di tengah disrupsi teknologi.