Ikhbar.com: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat (AS) menyetujui pemberlakuan sanksi terhadap Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), sebagai respons atas surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dan mantan menteri pertahanannya yang diduga terkait kampanye militer di Gaza.
Rancangan undang-undang (RUU) bernama Illegitimate Court Counteraction Act ini lolos dengan 243 suara mendukung dan 140 suara menolak.
RUU tersebut bertujuan melindungi warga negara AS atau sekutunya, termasuk Israel, dari penyelidikan, penangkapan, penahanan, atau penuntutan oleh ICC, terutama bagi negara-negara yang bukan anggota pengadilan tersebut.
Dalam pemungutan suara, 45 anggota Partai Demokrat mendukung bersama 198 anggota Partai Republik. Hal ini menunjukkan dukungan bipartisan yang signifikan.
“Amerika mengesahkan undang-undang ini karena pengadilan kanguru berusaha menangkap perdana menteri sekutu besar kita, Israel,” kata ketua Komite Urusan Luar Negeri DPR dari Partai Republik, Brian Mast, dalam pidato di DPR sebelum pemungutan suara, dikutip dari Reuters, pada Sabtu, 11 Januari 2025.
ICC mengkritik keras langkah ini, dan menyebutnya sebagai ancaman terhadap keadilan internasional dan integritas pengadilan.
Presiden ICC mengungkapkan kekhawatiran bahwa sanksi ini dapat secara serius mengganggu operasional pengadilan, dan melemahkan mandatnya dalam menangani kejahatan perang, serta kejahatan terhadap kemanusiaan.
Baca: Curi ‘Kesempatan dalam Kesempitan,’ Israel Caplok Tanah Suriah saat Al-Assad Digulingkan
Langkah ini mencerminkan dukungan kuat Partai Republik terhadap Israel, terlebih setelah mereka memegang kendali atas kedua kamar Kongres.
Sebelumnya, pemerintahan Donald Trump memberlakukan sanksi serupa pada ICC pada tahun 2020, yang kemudian dicabut pemerintahan Joe Biden. Namun, dengan disahkannya RUU ini, peluang sanksi tersebut diberlakukan kembali semakin besar.
RUU ini juga memperluas cakupan sanksi, mencakup individu yang mendukung atau berkontribusi pada kerja ICC. Pengamat khawatir, dampaknya dapat melemahkan kemampuan pengadilan untuk melaksanakan mandatnya dalam menegakkan keadilan internasional, khususnya dalam kasus-kasus terkait kejahatan serius di tingkat global.
Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.