Data Korban Tewas Gaza Diragukan, Diduga 41% Lebih Tinggi dari Laporan Resmi

Warga Palestina menggelar pemakaman bagi korban yang tewas akibat serangan udara Israel di Rumah Sakit (RS) Al-Aqsa Martyrs, di Deir al-Balah. APAImages/Rex

Ikhbar.com: Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal medis The Lancet mengungkapkan bahwa angka korban tewas dalam konflik Gaza selama sembilan bulan pertama sejak dimulainya perang Israel-Hamas pada Oktober 2023 diperkirakan 41% lebih tinggi dari data resmi yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Palestina.

Penelitian ini memperkirakan jumlah korban tewas akibat cedera traumatis mencapai 64.260 jiwa hingga akhir Juni 2024. Angka tersebut jauh melampaui laporan resmi yang mencatat 37.877 korban jiwa pada periode yang sama.

Studi tersebut menggunakan analisis statistik capture-recapture, sebuah metode yang memungkinkan estimasi jumlah korban dengan menggabungkan data dari berbagai sumber.

“Kami menemukan banyak korban yang tidak tercatat dalam laporan resmi. Ini menunjukkan adanya keterbatasan dalam sistem pendataan selama perang,” ujar epidemiolog dari London School of Hygiene & Tropical Medicine, sekaligus penulis utama studi tersebut, Zeina Jamaluddine, sebagaimana dikutip dari AFP, Sabtu, 11 Januari 2025.

Baca: Hampir 500 Warga Gaza Dibunuh Israel selama Seminggu Pertama 2025, Total Korban Tewas Capai 46 Ribu Jiwa

Studi itu mencatat bahwa 59,1% korban tewas adalah perempuan, anak-anak, dan warga lanjut usia (lansia) di atas 65 tahun. Namun, penelitian tidak memberikan rincian jumlah kombatan yang menjadi korban.

Dari keseluruhan angka tersebut, sekitar 2,9% dari total populasi pra-perang Gaza yang berjumlah 2,3 juta jiwa dinyatakan tewas akibat cedera traumatis, atau setara dengan 1 dari 35 penduduk.

Selain itu, penelitian itu menyebutkan bahwa angka korban tewas akibat perang masih bisa lebih tinggi karena tidak mencakup mereka yang meninggal akibat kekurangan akses layanan kesehatan atau makanan, serta ribuan orang yang diyakini terkubur di bawah reruntuhan.

Kemampuan Kemenkes Palestina dalam mencatat data korban secara elektronik dilaporkan memburuk selama serangan militer Israel, yang mencakup serangan ke fasilitas kesehatan dan gangguan komunikasi digital. Meski begitu, mereka tetap berupaya melacak korban melalui survei daring, laporan keluarga, dan media sosial (medsos).

Dalam laporan tersebut, ditemukan pula sekitar 11.000 orang yang dinyatakan hilang dan diduga meninggal dunia, menurut Badan Pusat Statistik Palestina (PCBS).

Sementara itu, seorang pejabat senior Israel yang menanggapi penelitian ini berdalih bahwa pihaknya telah berusaha keras untuk meminimalkan korban sipil dalam operasi militer tersebut.

“Tidak ada militer lain di dunia yang mengambil langkah seluas ini untuk menghindari korban sipil, termasuk memberikan peringatan evakuasi dan menyediakan zona aman,” ujar pejabat tersebut.

Ia juga menambahkan bahwa angka yang dilaporkan dalam studi tersebut tidak mencerminkan situasi di lapangan. Israel sebelumnya menuduh Hamas menggunakan rumah sakit sebagai basis operasi militer, meskipun tuduhan ini dibantah oleh kelompok tersebut.

Baca: Tentara Israel Bunuh 200 Warga Palestina dalam 3 Hari

Akan tetapi, studi ini mendapat tanggapan positif dari para ahli statistik internasional. Ahli statistik dari Human Rights Data Analysis Group, Patrick Ball menyebut metode yang digunakan para peneliti telah teruji selama beberapa dekade untuk memperkirakan jumlah korban konflik di berbagai negara, termasuk Guatemala, Kosovo, Peru, dan Kolombia.

Meski begitu, para peneliti juga mengakui adanya potensi kesalahan dalam estimasi mereka, terutama karena tidak semua data rumah sakit mencantumkan penyebab kematian, sehingga beberapa kematian non-traumatis bisa saja ikut terhitung.

Penelitian The Lancet menyoroti besarnya dampak konflik Gaza terhadap penduduk sipil dan mengungkapkan keterbatasan sistem pendataan korban di tengah perang. Dengan perbedaan signifikan antara data resmi dan estimasi penelitian, akurasi angka korban tewas dalam konflik ini masih menjadi perdebatan.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.