Kaleidoskop Tadris: Hukum Pakai Kaus Partai Politik saat Salat hingga Dalil-Dalil Antikorupsi di Kitab Suci

Salah satu pedagang di kios penjual atribut partai politik tengah menyelesaikan order dari pembeli di Pusat Perbelanjaan Senen Jaya 1 dan 2, Jakarta Pusat, Rabu (14/6/2023). ANTARA/Pembangunan Jaya

Ikhbar.com: Pemilu 2024 sudah memasuki masa kampanye. Pada tahapan ini, para kontestan diberi kesempatan untuk menyampaikan gagasannya kepada masyarakat hingga 10 Februari 2024 mendatang.

Gagasan dan pernyataan keikutsertaan para kontestan dalam pemilu lazim disisipkan dalam alat peraga kampanye (APK) dari mulai pemasangan baliho di pinggir jalan, hingga pembagian kaus kepada para calon pemilih. Yang menjadi pertanyaan, bolehkah melaksanakan salat dengan mengenakan kaus yang biasanya bergambar mencolok dan berisi ajakan memilih tersebut?

Baca: Debat Capres dalam Pandangan Islam

Hukum memakai kaus partai untuk salat

Pada dasarnya, mengenakan kaus partai saat salat dihukumi sah. Pasalnya, syarat sah pakaian untuk ibadah hanya mencakup ketertutupan aurat dan terbebas dari najis.

Meski diperbolehkan, tindakan tersebut sebaiknya dihindari. Sebab, kaus partai termasuk kategori pakaian yang bergambar dan dihukumi makruh.

Pendapat tersebut seperti pada artikel berjudul “Hukum Salat Memakai Kaus Partai” yang diunggah di Ikhbar.com pada Senin, 22 Januari 2023 lalu.

Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa Syekh Taqiyuddin dalam Kifayat al-Akhyar menerangkan:

ويكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل

“Makruh hukumnya mengenakan pakaian yang bergambar saat salat.”

Ayat-ayat antikorupsi

Pemilu 2024 adalah ajang untuk memilih calon pemimpin yang tepercaya, berintegritas tinggi, dan antikorupsi. Korupsi merupakan bahaya laten yang cenderung menjadi penghalang kemajuan bangsa yang membutuhkan keberanian para kandidat pemimpin dalam melakukan pemberantasannya.

Semangat untuk memusnahkan praktik korupsi juga disinggung dalam Al-Qur’an. Di antaranya, seperti yang termaktub dalam QS. Al-Baqarah: 188. Allah Swt berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”

Ulama ahli tafsir, Prof. KH Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menegaskan, korupsi merupakan tindakan yang jelas melanggar syariat. Sebab, praktik tersebut sudah barang pasti akan merugikan banyak pihak.

Menurutnya, keburukan tindakan korupsi tersebut tergambar pada kata “al-bathil” yang memiliki makna pelanggaran terhadap ketentuan agama dan syariat.

Berikutnya, dalam QS. Ali Imran ayat 161. Allah Swt berfirman:

وَمَنْ يَّغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۚ

“Siapa yang menyelewengkan (-nya), niscaya pada hari kiamat dia akan datang membawa apa yang diselewengkannya itu.”

Menurut Prof. Quraish, kata “ghuluw” pada ayat tersebut tidak hanya diartikan sebagai harta rampasan perang. Akan tetapi bisa diartikan dengan seseorang yang berkhianat terhadap orang lain, baik itu berkhianat terhadap organisasi atau instansi kenegaraan.

Hal itu termasuk juga meliputi ketidakjujuran seseorang dalam mengelola keuangan, menyalahgunkan jabatan, dan menerima suap.

Menurutnya, tindakan khianat juga dapat dicerminkan dengan tindakan menerima suap untuk meluluskan yang batil, atau mengangkat keluarganya untuk suatu jabatan. Padahal keluarganya itu tidak memiliki kapabilitas, tidak profesional, dan tidak memiliki moral yang baik.

“Orang yang khianat bisa muncul dari pelaku korupsi, kolusi, nepotisme, atau pada pemberi suap dan orang yang disuap. Apabila seseorang melakukan tindakan tersebut, maka Allah akan mengancamnya di hari kiamat kelak dengan membawa apa yang dikhianatinya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan sesuai dengan apa yang dilakukanya,” jelasnya.

Baca: Mengenal Fikih Siyasah, Panduan Politik Umat Islam

Terakhir, dalam QS. An-Nisa: 29. Allah Swt berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar).”

Syekh Sulaiman bin Umar Al-Jamal dalam Futuhatul Ilahiyah bi Taudhihi Tafsiril Jalalain meyebutkan, tindakan korupsi sama dengan mencuri, merampok, ghasab, atau memakai dan menguasai harta orang lain tanpa seizin pemiliknya. Tentu saja, jelas Syekh Sulaiman, semua tindakan tersebut diharamkan dalam agama.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.