Ikhbar.com: Bulan Ramadan identik dengan agenda pesantren kilat (sanlat) yang banyak digelar di lembaga pendidikan dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Kegiatan yang kini menjadi bagian dari tradisi khas masyarakat Indonesia ini ternyata memiliki riwayat panjang, hingga menyimpan banyak keunikan tersendiri.
Pesantren kilat merupakan kegiatan yang dilaksanakan demi memperkuat wawasan keagamaan para peserta dengan cara cepat. Durasinya pun digelar secara beragam, mulai dari tiga hari hingga satu minggu selama bulan Ramadan.
Baca: Keluhuran Akhlak Kiai Pesantren Perlu Disyiarkan ke Publik
Sejarah pesantren kilat
Mudir Aam Ikhbar Foundation, KH Sobih Adnan menjelaskan, melalui kegiatan pesantren kilat, para peserta didik biasanya akan mendapat pengalaman lebih dalam pembelajaran Al-Qur’an, tadarus, murajaah, hingga pendidikan akhlak demi pembentukan karakter generasi yang lebih baik.
“Target utama dalam pelaksanaan pesantren kilat sebenarnya adalah tafaqquh fiddin (pembelajaran ilmu-ilmu keislaman) yang menjadi tuntutan bagi seorang Muslim,” kata Kiai Sobih, dalam program Jendela Negeri bertema “Pesantren Kilat, Ruang Pendidikan Singkat,” yang disiarkan di TVRI, Sabtu, 16 Maret 2024.
Anjuran untuk ber-tafaqquh fiddin, menurutnya tertera jelas dalam Al-Qur’an maupun hadis. Di antaranya sebagaimana dalam QS. At-Taubah: 122, Allah Swt berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
“Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya?”
Sementara dalam hadis, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad Saw:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barang siapa yang dikehendaki baik, maka Allah akan memeberikannya kepamahaman tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim).
“Istilah pesantren kilat muncul dan populer sejak tahun 1990-an. Semangatnya diambil dari pendidikan ala pesantren, sebuah tradisi pembelajaran di Indonesia yang mengutamakan kemandirian, kebersamaan, dan akhlakul karimah,” jelasnya.
Menurutnya, pesantren kilat sangat penting untuk digelar di setiap bulan Ramadan. Terlebih lagi, bagi sekolah umum yang memiliki keterbatasan porsi pendidikan agama Islam dalam kegiatan belajar mengajar mereka (KBM).
“Porsi pelajaran agama di sekolah umum hanya dua jam per minggu. Kalau di tingkat SMP, per 1 jam pelajaran adalah 40 menit, jadi cuma 80 menit penyampaian pelajaran agama Islam dalam sepekan. Jika SMA, 45 menit, berarti cuma 90 menit per pekan,” katanya.
Dari jumlah jam yang sangat terbatas itu, lanjut Kiai Sobih, pada akhirnya materi yang disampaikan pun hanya bisa menyentuh pada hal-hal yang bersifat global.
“Padahal dalam tradisi pengetahuan Islam, ada banyak materi yang harus diajarkan secara spesifik. Jika merujuk kurikulum di sekolah berbasis keislaman, madrasah, atau pesantren yang hampir seluruh jam pelajarannya didominasi untuk penyampaian materi keagamaan, maka dikenal mata pelajaran Al-Qur’an, hadis, fikih, sirah (sejarah), akhlak, nahu-saraf (gramatika bahasa Arab), tasawuf, dan lain sebagainya. Dari satu cabang pelajaran Al-Qur’an pun, harus dipecah menjadi beberapa subcabang lainnya, misalnya tajwid, tafsir, ulumul Qur’an, dan seterusnya. Belum lagi soal praktik, mau tahfiz atau tahsin?” katanya.
Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila momentum Ramadan dijadikan sebagai peluang bagi para peserta didik di sekolah umum untuk mendapatkan asupan tambahan demi menggenapi pentingnya pengetahuan tentang keagamaan Islam.
“Lalu, kenapa pelaksanaannya identik di bulan Ramadan? Pertama, karena secara naluriyah, Ramadan itu cenderung menghadirkan nuansa yang mampu meningkatkan sisi religiusitas masyarakat Indonesia, termasuk para pelajar. Ada semangat untuk berlomba-lomba dalam kebaikan sekaligus tekad untuk lebih mendekatkan diri dengan agama,” katanya.
“Kedua, sebagai bentuk penghormatan sebagai negara berkeadaban, sejak dulu, sekolah selalu mendapatkan kompensasi selama bulan Ramadan. Misalnya, pengurangan jam belajar, banyaknya waktu libur, dan sejenisnya. Oleh karena itu, maka wajar jika kelonggaran tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan pengetahuan siswa dari sisi keagamaan,” sambungnya.
Menurut Kiai Sobih, sah-sah saja jika pesantren kilat juga digelar dengan memanfaatkan agenda di bulan-bulan lain.
“Atau kalau serius, bisa saja sebenarnya menjadi kegiatan mingguan di luar Ramadan yang disetarakan dengan kegiatan ekstrakulikuler di sekolah,” katanya.
Meskipun digelar dalam durasi yang sangat singkat, Kiai Sobih percaya bahwa kegiatan pesantren kilat akan sangat bermanfaat dan berdampak bagi para peserta didik.
“Karena pemberian pengetahuan itu dilaksanakan dengan cara yang berbeda dan di momentum bulan Ramadan yang semua umat Islam sepakat bahwa ini adalah bulan yang istimewa. Sudah terbukti pula, sebagian sekolah yang menggelar sanlat secara serius mampu meningkatkan akhlak dan karakter siswanya secara signifikan. Selain itu, juga soal evaluasi moral. Maka beberapa lembaga pendidikan juga memasukkan kegiatan-kegiatan tambahan dalam sanlat, misalnya bimbingan konseling dan sejenisnya,” katanya.
Tips persiapan dan pelaksanaan
Dalam kesempatan tersebut, Anggota Majelis Pengasuh Pondok Pesantren Ketitang Cirebon, Jawa Barat itu juga berbagi tips terkait pelaksanaan pesantren kilat yang efektif dan mampu menyasar pada penguatan karakter di lingkungan pelajar.
Caranya, pertama, lantaran mengambil nama atau istilah “pesantren” dalam kegiatan tersebut, maka sudah semestinya sekolah atau penyelenggara harus memahami betul apa yang akan diserap dari tradisi pendidikan Islam tertua dalam sejarah Indonesia itu.
“Misalnya, bagi masyarakat pesantren, yang dimaksud kurikulum itu tidak hanya mencakup pada mata pelajaran tertulis seperti yang disebutkan tadi. Tetapi hingga menyasar ke keteladanan kiai, nyai, ustaz, ustazah, dan lainnya. Jadi, bagi santri, karena mereka hidup dalam lingkungan yang satu kesatuan dengan para pengajarnya selama full 24 jam, maka perilaku guru-guru juga harus diserap sebagai pelajaran. Dari mulai bagaimana para kiai disiplin beribadah, berbicara, berperilaku, berkomunikasi, bersosialisasi, dan lainnya,” katanya.
Selain itu, sesuatu yang dianggap nilai plus dari pesantren adalah kemandirian. Di pesantren, para santri harus mampu memenuhi atau mengurus segala keperluannya sendiri tanpa dibantu saudara dan orang tua.
“Ada juga nilai toleransi dan kebersamaan. Karena dalam satu pesantren, biasanya terdiri dari ratusan hingga puluhan ribu santri dengan identitas, latar belakang, bahasa, dan kultur yang berbeda-beda,” katanya.
“Nah, sudah semestinya, dalam paket pelaksanaan pesantren kilat juga diserap metode-metode tersebut melalui konsep yang disesuaikan dengan durasi kegiatan. Misalnya, melalui monolog yang menceritakan kisah-kisah dan pengalaman, maupun praktik-praktik singkat yang menekankan pentingnya moral dan akhlak,” sambung Kiai Sobih.
Kedua, karena pesantren kilat kebanyakan digelar hingga menginap beberapa hari, maka keamanan dan kenyamanan peserta harus menjadi prioritas.
“Karena kalau menginap, tentu risikonya akan lebih besar ketimbang pesantren reguler yang sudah memiliki pengalaman dalam hal itu sejak puluhan tahun lalu,” katanya.
Ketiga, susun konsep pesantren kilat dengam durasi, tema, cara penyampaian, dan lokasi yang benar-benar menyesuaikan dengan tingkatan peserta.
“Untuk peserta yang masih tergolong anak-anak, buatlah serangkaian acara yang menyenangkan, diwarnai banyak permainan, atau di lokasi-lokasi yang mampu menghadirkan banyak pengalaman keceriaan, seperti dalam format boothcamp,” katanya.
Namun, yang lebih penting dari itu, kata Kiai Sobih, adalah dukungan dari orang tua. Tanpa itu, menurutnya, kegiatan pesantren kilat hanya akan menjadi kegiatan seremoni yang menyita energi tanpa manfaat keberlanjutan.
“Paling tidak, para orang tua harus bersyukur karena putra-putrinya dengan rela hati berkenan belajar memperdalam ilmu agama. Sesuatu yang barang kali menjadi mahal di era modern sekarang ini,” katanya.