Ikhbar.com: Seni kaligrafi Arab atau Islam terus berkembang selama ribuan tahun. Kaligrafi menjadi saksi sejarah dalam pelestarian penulisan Al-Qur’an, seni dan peradaban Islam, hingga terus bertahan di tengah kemajuan seni tipografi modern.
Seni kaligrafi dalam Islam memiliki tempat khusus karena dinilai mendapatkan penguatan langsung dari firman Tuhan. Dalam QS. Al-‘Alaq: 4, Allah Swt berfirman:
الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ
“… yang mengajar (manusia) dengan pena.”
“Maka, tidak heran jika seni kaligrafi begitu dikagumi dan dihargai sebagai ekspresi visual iman,” tulis Arab News, dikutip pada Jumat, 13 Oktober 2023.
Kini, organisasi kebudayaan dunia (UNESCO) pun telah memasukkan kaligrafi ke dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda.
Baca: Bahasa Arab, dari Pengembara ke Penjuru Dunia
Riwayat Bagdad
Garis sejarah seni kaligrafi Islam bisa ditarik dari peradaban sungai Eufrat, sekitar 170 kilometer selatan Bagdad, Irak. Sebuah kota bernama Kufah di wilayah itu sering disebut-sebut sebagai cikal bakal genre kaligrafi paling awal yang kemudian dikenal dengan gaya Kufi atau Kufic.
Kufi merupakan bentuk kaligrafi universal dan paling favorit untuk transkripsi Al-Qur’an. Keanggunan geometris kaligrafi ini membuatnya cocok untuk dekorasi arsitektur paling klasik dengan contoh yang ditemukan dalam prasasti Al-Qur’an sepanjang 240 meter di dalam Kubah Batu Yerusalem. Begitu pula yang terukir pada batu tua dekat Al Ula di Arab Saudi yang berasal dari tahun 644 M.
Meski begitu, asal muasal gaya kaligrafi Kufi dianggap masih misterius. Pasalnya, alfabet Arab justru diyakini berevolusi dari Nabataean, yakni dialek Aram yang digunakan orang-orang Arab semi-nomaden yang mendiami Arabia utara, Levant Selatan, dan Semenanjung Sinai sekitar abad ke-4 SM. Saat ini, masyarakat Nabataean terkenal karena keajaiban arsitektur yang mereka wariskan kepada dunia, termasuk Petra di Yordania dan Madain Saleh di Arab Saudi.
Suku Nabatean menggunakan bentuk tulisan yang mengalir dari kanan ke kiri dan memiliki kemiripan yang kuat dengan bahasa Arab, termasuk sifat kursif dan ketergantungannya pada kumpulan teks yang sebagian besar terdiri dari konsonan dan vokal panjang.
Baca: Beda Istilah ‘Kalimat’ dalam Bahasa Indonesia dan Arab
Beranak-pinak
Bentuk aksara Arab paling awal dikenal dengan sebutan Jazm, yang kemudian berkembang menjadi beberapa gaya berbeda, termasuk Hiri, Anbari, Makki, dan Madani. Gaya-gaya ini diberi nama berdasarkan kota atau wilayah asal mereka, misalnya, Makki dan Madani yang berasal dari Kota Makkah dan Madinah. Kedua gaya ini dimasukkan dalam kelompok Hijazi, nama kolektif untuk sejumlah aksara dari wilayah Hijaz.
Ma’il, aksara Hijazi lain yang digunakan dalam sejumlah manuskrip Al-Qur’an paling awal, diyakini sebagai pendahulu langsung Kufi. Apa yang disebut “Al-Qur’an Birmingham,” yang berasal dari abad ke-7 merupakan contoh gaya Hijazi yang menakjubkan, meskipun ditemukan tidak lengkap.
Ketika Islam dan bahasa Arab menyebar ke seluruh Afrika Utara dan Semenanjung Iberia, urgensi memahami aksara dan Bahasa Arab semakin meningkat. Seiring waktu, variasi Kufi mulai berkembang dan bercabang menjadi Kufi Timur yang digagas oleh Persia, aksara Maghrebi yang dikembangkan di Afrika Utara dan Semenanjung Iberia, dan Kufi Anyaman dan Persegi yang juga bagian dari evolusi gaya kaligrafi.
“Aksara Kufi dianggap sangat penting dan masih relevan hingga saat ini karena merupakan aksara pertama yang digunakan untuk menulis Al-Qur’an,” jelas ahli kaligrafi Arab Saudi, Nasser Al-Salem.
“Kufi adalah gaya kaligrafi yang menarik karena sangat bervariasi dan kaya,” tambah seniman, sejarawan, sekaligus profesor desain di American University di Kairo (AUC), Bahia Shehab.
Versi awal Kufi tidak disertai tanda titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya. Kufi tua juga tidak memiliki tanda untuk menampilkan pengucapan kata yang benar. Penafsiran teks yang benar hanya bergantung pada keterampilan pembaca yang dianggap memiliki pengetahuan untuk menguraikan kata-kata yang tidak memiliki huruf vokal dan titik konsonan.
Hal itu kemudian berubah ketika seorang bernama Abu Al-Aswad Al-Du’ali, yang dianggap sebagai bapak tata bahasa Arab menemukan sistem diferensiasi konsonan yang disebut i’jam dan tashkeel (indikasi vokal) pada paruh kedua abad ke-7. Sistem tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut pada abad ke-8 oleh ahli filologi dan tata bahasa, Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi, yang menulis kamus bahasa Arab pertama dan mengenalkan sistem tanda vokal pendek yang dikenal sebagai harakat. Baik Al-Du’ali dan Al-Farahidi, keduanya tinggal dan bekerja di Basra, Irak.
Meskipun Kufi masih digunakan sampai abad ke-12, tetapi popularitasnya terus menurun, terutama karena munculnya tulisan kursif yang lebih mudah dibaca seperti Toumar, Muhaqqaq, dan, khususnya, Naskh, yang lebih mudah dan cepat untuk ditulis dan kemudian menjadi naskah pilihan untuk buku dan dokumen administratif dalam Kekhalifahan Abbasiyah.
“Ada banyak teori tentang mengapa Kufi tidak lagi digunakan, tapi teori paling logis yang pernah saya baca sejauh ini adalah kecepatan,” kata Shehab.
“Tetapi Kufi tidak pernah hilang sepenuhnya. Ia selalu mengalami kebangkitan. Misalnya, pada masa Mamluk, Kufi mulai muncul kembali pada judul ayat di Al-Qur’an dan di Masjid Sultan Hassan yang terkenal. Ada keanggunan dalam geometri yang membuatnya akan selalu digubakan selamanya,” kata dia.