Ikhbar.com: Penanggalan hijriah telah memasuki bulan Safar. Penamaan bulan Safar berasal dari sebuah kata dalam Bahasa Arab, Shafarun, dengan menggunakan huruf “shad” yang bermakna kosong atau sepi.
Direktur Utama (Dirut) PT. Ikhbar Metamesta Indonesia, Agung Firmansyah menjelaskan, penamaan itu diambil dari kebiasaan Arab tempo dulu yang bergerak keluar meninggalkan kota untuk berperang atau meninggalkan perang.
“Jadi, di bulan-bulan ini kota-kota cenderung kosong dan sunyi,” kata dia, di tayangan Sinikhbar, dikutip pada Kamis, 31 Agustus 2023.
Sinikhbar merupakan program baru di saluran YouTube Ikhbar TV. Bincang-bincang berdurasi kurang lebih 30 menit ini menyajikan tema-tema penting seputar keislaman, kebudayaan, bahasa, dan sejarah secara santai.
Baca: Cara Mudah Menghafal Nama-nama Bulan Hijriah
“Nah, kebetulan, dalam serapan Bahasa Indonesia, kata ‘Shafar‘ ditulis menjadi ‘Safar‘ yang dalam Bahasa Arabnya juga bermakna bepergian. Itu makanya banyak yang mengira bahwa bulan Safar disebut atau dimaknai karena berhubungan dengan sebuah perjalanan,” katanya.
Pembentukan yang unik
Sementara itu, Mudir Aam Ikhbar Foundation, Sobih Adnan mengungkapkan, Bahasa Arab relatif punya keunikan tersendiri ketimbang bahasa-bahasa lainnya.
“Kalau Bahasa Indonesia kan, misalnya, kata ‘Baik’ ya sudah baik saja. Tidak ada penjelasan tentang akar kata atau riwayat pembentukannya. Tapi di Bahasa Arab, contohnya kata ‘Sejarah’ ya itu memang diambil dari lafal ‘Sajaratun‘ yang berarti pohon. Karena sejarah juga seperti pohon, bercabang dan terus tumbuh mengembang,” katanya.
Keunikan lain yang dimiliki Bahasa Arab, lanjut Sobih, adalah kehadiran sepasang kata dengan pelafalan yang terdengar mirip, tetapi maknanya justru antonim, atau berlawanan.
“Misalnya, kata ‘ni’mat‘ dengan ‘niqmat.’ Kata yang pertama itu ya bermakna kenikmatan. Tetapi ketika memakai ‘qaf‘ dibaca ‘niqmat‘ itu maknanya bukan nikmat banget, malah bermakna ‘sengsara,” jelasnya.
Baca: Twitter Ganti Logo, Bagaimana Cara Menulis Huruf ‘X’ dalam Bahasa Arab?
Contoh lainnya adalah kata “aajilah” dan “‘aajilah” dengan perbedaan huruf pertama berupa hamzah dan ain. Makna kata pertama adalah segera, sedangkan kedua, justru bermakna diakhirkan atau tertunda.
“Satu lagi, contoh, ‘qaadim‘ dengan ‘qadiim‘ beda letak mad (panjang). Yang pertama bermakna yang akan datang, yang kedua bermakna lampau,” katanya.
Oleh karena itu, wajar jika Bajasa Arab dijadikan untuk penulisan Al-Qur’an. “Karena yang tadi itu pun baru secuil dari sekian banyaknya keunikan dalam Bahasa Arab,” katanya.