Ikhbar.com: Seorang penjilid buku asal Harar, Etiopia, Abdallah Ali Sherif (75), telah mendedikasikan hidupnya selama lebih dari tiga dekade, untuk menyelamatkan warisan budaya kotanya yang nyaris terhapus.
Ia mengoleksi manuskrip-manuskrip kuno yang selama generasi tersembunyi di rumah-rumah warga, termasuk Al-Qur’an, kitab hukum Islam, dan doa-doa yang ditulis dalam bahasa Arab maupun aksara Ajami (non-Arab).
“Saat kecil, orang tua saya bilang kami tidak punya sejarah,” kata Sherif, dikutip dari Al Jazeera, pada Senin, 5 Mei 2025.
Ia tumbuh di masa represif ketika Harar, dulu pusat keilmuan Islam dan ibu kota Kesultanan Adal abad ke-16, diintegrasikan paksa ke Kekaisaran Kristen Etiopia oleh Menelik II pada 1887.
Baca: Euforia Ramadan di Etiopia
Masjid-masjid diubah menjadi gereja, aksara Arab diganti menjadi Amharik, dan pendidikan agama diberangus.
Ketika etnofederalisme diterapkan pada 1991, Harari mendapat otonomi lebih. Sejak itu, Sherif memulai misinya, yaitu mengumpulkan artefak budaya dan membuka museum pribadi pertama di Etiopia, Museum Abdallah Sherif, 14 tahun lalu. Manuskrip menjadi fokus utamanya.
“Setiap buku seperti jendela yang membuka budaya kaya yang nyaris terlupakan,” ujarnya.
Sherif juga menghidupkan kembali seni penjilidan buku tradisional Harar. Ia belajar dari para ahli terakhir seni ini, menjadikan kotanya pusat pengetahuan yang sempat hilang.
Menurut pakar filologi dari Universitas Addis Ababa, Nuraddin Aman, produksi manuskrip Harar sejak abad ke-13 dipengaruhi gaya tulisan dari Gujarat (India), Yaman, dan Mesir Mamluk.
Manuskrip-manuskrip ini dulunya disalin oleh petani dalam waktu senggang, dan hanya bisa diterbitkan dengan izin ulama dan emir setempat.
Baca: Mengunjungi Gereja di Afrika Selatan yang Kini Jadi Markas Gerakan Pro-Palestina
Pada masa kekuasaan Kaisar Haile Selassie (1930–1974), represi terhadap Muslim semakin parah. Upaya elite Harari dan Somali untuk melepas diri dari Ethiopia direspons dengan penangkapan massal.
Sekitar 10.000 orang Harari terpaksa mengungsi ke kota lain, Somalia, atau Timur Tengah. Sherif lahir di tengah situasi ini.
“Kami diajari bahwa hanya ada satu negara, satu raja, satu sejarah, dan satu bahasa,” kenangnya.
Ketika bertanya tentang sejarah Muslim di Harar, ia dilecehkan oleh teman-teman sekolahnya. Namun rasa ingin tahunya justru membawanya menjadi penjaga sejarah yang nyaris punah itu.