Ikhbar.com: Mustasyar sekaligus Mantan Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, atau karib disapa Buya Said, menyebut pemupukan semangat nasionalisme yang religius penting dalam upaya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Pernyataan itu diungkapkan dalam orasi ilmiah pada Sidang Terbuka Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) KHAS Kempek Cirebon, Jawa Barat angkatan I, pada Kamis, 18 Juli 2024.
Pada tahun 1924, Khilafah Utsmaniyah dibubarkan. Khalifah terakhirnya, Abdul Majid, dibuang ke Jerman oleh seorang ideolog sekuler bernama Mustafa Kemal Atatürk,” jelasnya.
Baca: Wisuda Perdana STIKes KHAS Kempek Cirebon Lahirkan Praktisi Kesehatan Bermental Aswaja
Masa kelam negara Islam
Lebih lanjut, Buya Said menguraikan kondisi negara-negara Islam yang pada masa itu berada di bawah penjajahan asing.
“Pada masa itu, hampir seluruh wilayah negeri Islam sedang dalam penjajahan. Irak, Mesir, dan Sudan dijajah Inggris. Suriah, Lebanon, Aljazair, dan Tunis dijajah Prancis. Sementara Indonesia dijajah Belanda,” katanya.
Setelah bubarnya sistem kekhilafahan, berbagai bangsa di dunia Islam pun dituntut untuk berjuang mencapai kemerdekaan dengan konsep nation-state (negara bangsa).
Buya Said menjelaskan, setiap bangsa berjuang mencapai kemerdekaan dengan modal ikatan budaya, kesamaan visi misi, serta ditopang keyakinan agama sehingga lahir konsep nation-state yang datang dari Perancis melalui Ernest Renan.
Ia juga menyinggung munculnya partai politik pertama di dunia Arab yang bersifat nasionalis sekuler.
“Tahun 1932 muncul partai politik pertama di dunia Arab yang bersifat nasionalis sekuler, yaitu Partai Ba’ath, didirikan oleh Michel Aflaq, seorang Kristen Ortodoks dari Damaskus,” ujarnya.
Pada 1937, umat Islam mulai sadar akan pentingnya berorganisasi. Maka berdirilah partai Islam pertama di dunia, yaitu Ikhwanul Muslimin yang dibentuk Syekh Hasan Al-Banna, seorang ulama Sunni moderat.
Baca: Sejarah NU, Seabad Riwayat Perlawanan Ulama Indonesia
Keberhasilan Indonesia
Pada 1969, muncul gerakan di Timur Tengah, yang dinai lebih radikal dari Ikhwanul Muslimin. Mereka adalah Jamaah Takfir wal Hijrah, yang didirikan Syukri Ahmad Mustofa. Gerakan ini, ungkap Buya Said, terkesan menghalalkan segala cara, termasuk terorisme, demi menggapai cita-cita kembali terbentuknya sistem khilafah islamiyah.
Beruntung, lanjut Buya Said, di tengah tantangan tersebut, Indonesia justru dinilai berhasil dalam memadukan konsep nasionalisme dan keberagamaan atau religiusitas.
“Alhamdulillah, di Indonesia, nasionalisme kita adalah nasionalisme religius. Hubungan antara agama dan politik telah selesai dengan slogan Kiai Hasyim Asy’ari, ‘Hubbu al Wathan min al Iman‘ (Cinta Tanah Air adalah bagian dari Iman),” tegas Buya Said.
Ia juga mengapresiasi kesatuan nasional Indonesia yang tetap terjaga, meskipun sering mengalami berbagai bencana dan pemberontakan.
“Kita bersyukur bahwa Indonesia tetap bersatu meski sering terjadi berbagai bencana dan pemberontakan. Reformasi dari Orde Baru ke Orde Reformasi hanya memakan waktu enam bulan, berbeda dengan negara-negara Timur Tengah yang masih bergejolak hingga kini,” pungkasnya.