Ikhbar.com: Perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw di Jerman, khususnya di kalangan diaspora Muslim Indonesia, tetap bertahan sebagai sarana melestarikan tradisi keagamaan meskipun harus beradaptasi dengan lingkungan yang didominasi budaya sekuler.
Setiap tahun, Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Nahdlatul Ulama (NU) Jerman mengadakan acara Maulid dengan membaca Barzanji, Diba’, atau Simtuddurrar, disertai iringan rebana pada perayaan besar. Tradisi ini memberikan rasa kebersamaan bagi komunitas Muslim, di tengah kehidupan yang terpisah dari akar budaya mereka di Indonesia.
Menurut Schielke dalam Balancing Faith and Modernity (2012), yang diterbitkan di Journal of Contemporary Islamic Studies, perayaan-perayaan keagamaan di tengah diaspora Muslim berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan komunitas dengan identitas keagamaan mereka di negara-negara mayoritas non-Muslim.
“Maulid di Jerman bukan sekadar ritual, tapi juga sarana menguatkan kebersamaan diaspora Indonesia di tengah budaya yang sangat berbeda,” ujar ketua Fatayat PCI NU Jerman, Nur Yuchanna yang juga akrab disapa Ustazah Yoan, kepada Ikhbar.com, Senin, 16 September 2024.
Baca: Gema Puisi Kelahiran Nabi, Riwayat Al-Barzanji
Menyesuaikan diri
Budaya lokal Jerman memengaruhi cara perayaan ini dilakukan, terutama dalam hal penyesuaian waktu dan tempat acara.
“Biasanya kami adakan Maulid saat akhir pekan atau hari libur, karena orang-orang di sini sibuk dengan pekerjaan dan kuliah,” kata Ustazah Yoan.
Selain itu, terdapat tantangan besar dalam memperoleh izin untuk menyelenggarakan acara, terutama jika diadakan pada hari Minggu, yang dalam peraturan setempat dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kebisingan.
Hal ini sejalan dengan temuan Samim Akgönül dalam Religion and Society in Europe: Islam in Germany (2009), yang menyebutkan bahwa hukum dan budaya sekuler Eropa sering kali memengaruhi praktik keagamaan Muslim, meskipun tidak mengubah inti dari perayaan tersebut.
Tantangan lain yang dihadapi adalah keterbatasan akses terhadap tempat publik.
“Untuk menyewa tempat, kami harus berhati-hati agar tidak mengganggu tetangga sekitar,” tambah Ustazah Yoan.
Baca: Kala NU-Muhammadiyah Kompak Tahlilan di Jerman
Interaksi masyarakat non-muslim dan paparan Wahabisme
Masyarakat non-Muslim di Jerman umumnya tidak terlalu memahami perayaan Maulid, tetapi mereka cenderung memberikan respons yang positif.
“Ketika mereka mendengar kasidah yang kami lantunkan diiringi rebana, mereka sering kali memuji suara kami,” jelasnya, setengah bercanda.
Malik J. dalam Islamische Organisationen in Deutschland (2018) juga mengamati bahwa masyarakat Jerman umumnya menunjukkan sikap netral terhadap praktik keagamaan Muslim, meskipun interaksi yang lebih dalam jarang terjadi di luar kerangka sosial.
Generasi muda Muslim di Jerman menghadapi tantangan dari pengaruh ideologi puritanisme, seperti Wahabisme, yang sering kali menganggap perayaan Maulid tidak sesuai dengan ajaran Islam.
“Banyak dari generasi muda yang sudah terpengaruh Wahabisme dan menyebut perayaan ini tidak boleh dilakukan,” kata Ustazah Yoan.
Hal itu, sejalan dengan penjelasan Peter Mandaville dalam Global Political Islam (2010) yang mencatat bahwa Wahabisme dan gerakan Islam transnasional lainnya semakin berpengaruh di kalangan diaspora Muslim di Eropa, terutama di kalangan generasi muda, yang sering kali meragukan tradisi-tradisi lokal seperti Maulid.
Meski demikian, tidak semua generasi muda menolak tradisi ini. Banyak yang masih antusias menghadiri acara Maulid, terutama karena aspek sosial yang menyatukan mereka dengan komunitas Indonesia.
Ustazah Yoan menambahkan bahwa makanan khas Indonesia yang dihidangkan dalam acara Maulid, sering menjadi daya tarik tersendiri bagi para peserta muda, terutama mereka yang merindukan kampung halaman.
Ustazah Yoan dan warga NU di Jerman berusaha keras untuk menjaga agar tradisi Maulid tetap hidup, meskipun menghadapi berbagai tantangan. Dengan memberi pemahaman yang tepat kepada generasi muda, mereka berharap tradisi ini akan terus dilestarikan.