Ikhbar.com: Tidak banyak musisi atau pun grup musik di Indonesia yang memiliki perhatian khusus terhadap isu-isu publik yang disajikan secara kritis. Efek Rumah Kaca (ERK) adalah satu grup band yang dinilai layak untuk diperhitungkan dalam kiprah tersebut.
Demikian diungkapkan pemerhati isu sosial dan pengajar sosiologi agama di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati, Wakhit Hasim, dalam diskusi Musik Sufistik: Bedah Lirik “Putih” Efek Rumah Kaca, di Panggung Utama Arena Pekan Raya Cirebon (PRC), Watubelah, Sumber, Cirebon, Ahad, 5 November 2023, malam.
“Selain banyak isu sosial yang menjadi sasaran kritik ERK, isu lingkungan justru menjadi hal yang setidaknya bagi saya, menarik untuk dikomentari,” katanya.
Baca: Unsur Sufistik dalam Lagu-lagu Efek Rumah Kaca
Bermula dari nama
Dalam diskusi yang merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 2023 hasil kolaborasi Ikhbar.com, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon, dan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) PCNU Kabupaten Cirebon tersebut, Wakhit mengatakan, perhatian ERK terhadap isu strategis itu bisa terlihat dari nama yang mereka usung.
“Nama Efek Rumah Kaca itu sendiri merupakan sesuatu yang ikonik, yang mengingatkan kita tentang ancaman pemanasan global dan pentinya melakukan kerja-kerja pelestarian lingkungan,” jelasnya.
Sekarang ini, lanjut Wakhit, dunia sedang mengalami nasib terburuknya. Hutan-hutan yang diandalkan sebagai produsen oksigen kian terkikis.
“Kehidupan ini dijaga oleh okesigen dan istilah efek rumah kaca mengingatkan saya soal itu,” ungkap Wakhit.
Dia juga menyarankan agar setiap penikmat karya-karya ERK agar terus sadar bahwa isu lingkungan menjadi sesuatu yang superpenting. Paling tidak, katanya, dibuktikan dengan semangat menanam sebagai bagian dari upaya keberlanjutan dan kelestarian alam.
“Nah, lagi ERK yang kita bahas kali ini (Putih) mengingatkan tentang pola kematian dan kelahiran. Ini pun amat berkaitan dengan isu lingkungan,” katanya.
“Innallaha yuhyi wa yumit. Sesungguhnya Allah yang Maha Menghidupkan dan Mematikan. Itu refleksinya ada pada proses tanam-menanam,” sambung Wakhit.
Menurut Wakhit, peka dengan kematian dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dalam kehidupan akan memberikan kesadaran lebih bagi umat manusia.
“Mengakrabi kematian, berarti harus menanam. Jangan sampai ada tanah kering tidak ditanami,” katanya.
Wakhit juga menyitir banyaknya hadis Nabi Muhammad Saw tentang anjuran pentingnya menanam demi kelestarian lingkungan. “Bahkan ada satu redaksi hadis yang menyebutkan, jika besok kiamat dan di tanganmu masih ada satu biji tanaman, maka tanamlah,” kata dia.
Baca: Cholil ERK: Idealisme Adalah Roh dalam Karya
Meluaskan pesan agama
Sementara itu, vokalis sekaligus pentolan ERK, Cholil Mahmud mengatakan, sebagian lagu yang ia ciptakan hanya merupakan bagian dari memori kehidupan sehari-hari yang ia tangkap sewaktu kecil. Cholil mengaku tidak menyangka akan mendapatkan respons yang membanggakan, terutama dari kalangan pesantren.
“Saya cuma menyuarakan pengalaman yang didapat di masa kecil,” katanya.
Menurut Cholil, musik memiliki kekuatan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan kepada khalayak. Termasuk pesan-pesan pelestarian lingkungan dari kacamata agama.
“Ada juga perasaan ingin membuktikan bahwa dengan bermain musik enggak harus jauh dari agama. Melalui lagu-lagu yang kami ciptakan, sebenarnya ERK ingin memaknai relijiusitas secara lebih luas,” tegas Cholil.