Ikhbar.com: Apa yang bermasalah dari wajah demokrasi di era Orde Baru (Orba)? Ternyata tidak mudah mencari uraian yang pas untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pasalnya, selama 32 tahun kepemimpinan Presiden Soeharto itu, pemilu sebagai penanda utama demokrasi sekilas telah memenuhi syarat. Semua instrumen, seperti aturan main berupa Undang-Undang (UU), keberadaan partai politik (parpol), penyelenggaraan pemilu, hingga lembaga pengawas semuanya ada dan lengkap.
Terkecuali, bagi seorang KH Abdurrahman Wahid. Presiden Ke-4 RI itu mampu menjawabnya secara lugas meski tetap dengan gaya khasnya yang penuh kelakar.
“Ketika seseorang yang mengatakan bahwa demokrasi era Orba itu semuanya ada dan lengkap kemudian bertanya, ‘Lalu apa yang tidak ada, Gus?’ Beliau cukup menjawab, ‘Yang tidak adanya, ya, demokrasi itu sendiri,” kata Koordinator Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Gusdurian, Jay Akhmad, saat menceritakan sebabak dialog Gus Dur, dalam Hiwar Ikhbar #17 bertema “Desember Bulan Gus Dur” bersama Ikhbar.com, Sabtu, 9 Desember 2023.
Baca: Gusdurian Ajak Pemuda Lintas Iman Jadi ‘Pemadam Kebakaran Digital’ Pemilu 2024
Institusional ke konstitusional
Menurut Jay, sapaan karibnya, Gus Dur menyebut demokrasi era Orba hanya sebagai demokrasi institusional. Artinya, demokrasi yang hanya mampu menghadirkan lembaga-lembaga atau perangkat di dalamnya.
“Oleh karena itu, Gus Dur selalu berupaya untuk mendorong perubahan dari demokrasi institusional ke demokrasi konstitusional. Yakni, demokrasi yang berdasarkan pada hukum dan penegakan hak-hak konstitusi warga negara. Konstitusi harus hadir sebagai upaya agar hak-hak warga negara itu benar-benar terwujud. Negara harus memastikan hak-hak konstitusi warganya,” ungkap Jay.
Sebaliknya, lanjut Jay, masyarakat sebagai warga negara juga harus betul-betul memahami apa saja haknya yang telah dijamin secara konstitusi.
“Dan problem tersebut masih ada hingga hari ini. Reformasi memang telah membawa banyak perubahan, tetapi terkait demokrasi, kita itu sebenarnya masih berjuang. Artinya, kita masih dalam situasi untuk terus menguatkan sistem demokrasi,” katanya.
Baca: Haul Gus Dur sebagai Hari Raya Gerakan Kebangsaan
Harap tenang, masih ujian
Direktur Pelaksana Yayasan Bani Abdurrahman Wahid (YBAW) itu mengatakan, hingga saat ini Indonesia masih sering mendapatkan ujian demokrasi. “Misalnya, ketika ada seseorang yang ingin ikut kontestasi politik tapi membutuhkan ‘sesuatu,’ maka justru UU-nya yang diubah. Ya, mengubah UU tentu boleh saja, tetapi mestinya itu hanya bisa dilakukan oleh si pembuat UU, yakni legislatif,” kata Jay.
Belum lagi, kualitas orang-orang di badan legislatif pun belum tentu memiliki kualitas yang baik. Padahal, kualitas anggota legislatif akan sangat menentukan kualitas produk legislasinya itu menjadi baik atau buruk.
“Nah, siapa yang menentukan kualitas mereka? Ya, kita. Melalui proses pemilu ini masyarakat harus benar-benar mampu menentukan pilihan kepada calon wakil rakyat yang memang telah memiliki rekam jejak yang baik,” ujar Jay.
Jay kembali menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia hari ini masih belum utuh dan terus memerlukan proses penguatan. Bahkan, kata dia, ada peluang berputar balik ke masa kelam.
“Potensi turn back Itu yang sedang kita lawan. Caranya adalah dengan menjadikan demokarasi jangan sampai hanya dipahami dan menjadi makanan kelompok elite, tapi harus dijadikan obrolan hingga ke warung-warung kopi yang akan terus mengasah kepekaan masyarakat luas,” katanya.
Jika sudah seperti itu, Jay yakin bahwa masyarakat Indonesia akan akrab dengan bahasan kondisi dan tanggung jawab pemimpin maupun wakil rakyat di daerahnya masing-masing. “Untuk itulah, masyarakat harus semakin menyadari sekaligus menguatkan pengetahuannya tentang hak-hak konstusi dalam berdemokrasi. Jangan sampai demokrasi hanya dikooptasi oleh para politisi,” pungkas Jay.